ASPEK-ASPEK KOMUNIKASI MELALUI SENI TARI JAIPONG


BAB I
PENDAHULUAN

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. budaya juga tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada dialam raya ini. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya dimuka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah dimuka bumi ini.  Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan.
Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan  manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya.  Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya.
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia  menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Koentjaraningrat menjelaskan tiga wujud kebudayaan yaitu gagasan atau wujud ideal, aktifitas, dan karya. kenyataanya dalam kehidupan bermasyarakat antara wujud kebudayaan yang satu dengan wujud kebudayaan yang lain tidak bisa dipisahkan. Sebagai contohnya wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arahan kepada tindakan dan karya.
Dalam tiga wujud kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat terdapat tujuh unsur kebudayaan didalamnya, salah satunya adalah kesenian, kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang bisa menginterpreatasikan gagasan dengan adanya makna di dalamnya, mewujudkanya dalam berbagai bentuk bisa melalui tarian, ritual, artepak, lukisan dan lain sebagainya yang menjadi media dalam penyaluran gagasan setiap penggiatnya.
Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler yang ditampilkan oleh penganut kebudayaan yaitu mereka para pegiat seni akan kebudayaan. Bila melihat Provinsi Jawa Barat maka yang terlintas sekilas adalah kebudayaan Sunda, tempat lahirnya kebudayaan Sunda dengan segudang kebudayaan yang menghiasi keindahanya, salah satunya kesenian Tari Jaipong.
Tari Jaipong adalah merupakan tari tradisional yang berasal dari Jawa Barat. Sebagai tari tradisional tari jaipong dikategorikan sebagai tari kreasi yang sifatnya hasil kreatifitas seniman di Jawa Barat didasarkan pada kesenian tradisi yang sudah ada. Jaipongan atau tari jaipong ini merupakan tarian yang dibawakan dengan enerjik oleh seorang penari dengan diiringi oleh musik tradisional gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab serta alunan lagu dari seorang sinden atau juru kawih




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi Seni
seni adalah istilah subyektif yang merujuk kepada seseorang yang kreatif, atau inovatif, atau mahir dalam bidang seni, Penggunaan yang paling kerap adalah untuk menyebut orang-orang yang menciptakan seni, seperti lukisan, patung, seni peran, seni tari, sastra, film dan musik. Para pegiat seni menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk menciptakan karya dengan nilai estetika. Ahli sejarah seni dan kritikus seni mendefinisikan Pegiat seni sebagai seseorang yang menghasilkan seni dalam batas-batas yang diakui.
Untuk menciptkan dan mengembangkan karya seni, seorang seniman memerlukan ekspresi dan kreativitas, karena melalui hal tersebut dapat memuculkan originalitas, keontetikan, keunikan karakter dari hasil karya seni yang diciptakannya.
Seni bukanlah sebatas benda, tetapi juga meliputi nilai-nilai sebagai respon estetik dan publik melalui proses pengalaman seni. Seni dan pengalaman tersebut merupakan bagian dari filsafat seni. Ada tiga persoalan pokok dalam filsafat seni, yaitu benda sebagai hasil kreasi Pegiat seni, Pegiat seni (seniman), dan penikmat seni (publik). Dari hasil karya para seniman, akan mucnul reaksi sebagai hasil proses pemahaman publik (apresiator). Reaksi inilah yang dinamakan nilai-nilai seni (F. Budi Hardiman, 344 : 2016 )
Seniman berupaya mengkomunikasikan idenya kepada publik melalui benda-benda seni. Sebagai apresiator, publik memberikan tanggapannya. Sebuah karya seni tidak mungkin ada jika tanpa ada para pegiat seni. Pegiat seni menggunakan karya seni yang dihasilkannya sebagai media untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan perasaannya kepada publik. Sebuah karya seni pun tidak hanya sebatas pada aspek kebendaan semata, melainkan juga meliputi aspek nilai yang datang dari publik sebagai penikmat seni, karena seni memiliki berbagai fungsi penting, antara lain sebagai media pewarisan budaya, saran hiburan, sarana pendidikan, dan dapat menimbulkan semangat solidaritas. Dengan demikai ketiga unsur tersebut, saling bergantung satu sama lain. (Napsirudin, 120: 1996).
         Tari Jaipong memiliki beberapa ciri khas yang ada didalamnya, misalnya yang terdapat pada gaya kaleran. Pada gaya kaleran terdapat beberapa ciri khasnya, yaituyaitu keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan. Ciri khas tersebutlah yang membuat masyarakat semakin tertarik dan antusias terhadap tari ini, hal tersebut terlihat dalam pola penyajian pada pertunjukkannya, dimana terdapat tarian yang diberi pola (Ibing Pola) seperti yang terdapat pada Tari Jaipong yang ada di Bandung, dan terdapat pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Tari Jaipong yang terdapat di Subang dan Karawang. Istilah tersebut dapat kita temukan pada Tari Jaipong gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya terdapat gaya kaleran dalam Jaipongan, diantaranya sebagai berikut :
  1. Tatalu.
  2. Kembang Gadung.
  3. Buah Kawung Gopar.
  4. Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih).
  5. Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam tempel. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor). 
         Seiring dengan berjalannya waktu Tari Japong itu sendiri mengalami perkembangan, dan hal tersebut terjadi pada tahun 1980-1990-an, dimana Gugum Gumbira menciptakan beberapa tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Man gut, Iring-firing Daun Puring, Rawayan dan Tari Kawung Anten.
         Saat ini Tari Jaipong boleh dikatakan sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal tersebut terlihat pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang berkunjung ke Jawa Barat, dimana para tamu tersebut akan disambut dan disuguhkan dengan pertunjukan Tari Jaipong. Tari Jaipong sangat memengaruhi kesenian-kesenian lain yang terdapat di masyarakat Jawa Barat, baik yang terdapat pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir di semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern dikolaborasikan dengan Jaipong . (kebudayaan1.blogspot.com : 2013)
B.     Sejarah Tari Jaipong
Pada era 90-an jenis tarian ini kerap mewarnai beberapa film layar lebar di Indonesia yang tergambar sebagai salah satu hiburan terkenal pada waktu itu.
Adalah Haji Suanda, seorang seniman kelas kakap dari Karawang melahirkan kesenian gerak tari dari hasil kreasinya. Sebagai seorang seniman sejati beliau memiliki talenta yang sangat besar sehingga tak heran jika Haji Suanda mampu menguasai berbagai jenis kesenian dari beberapa daerah sekaligus terlebih dari daerah Karawang Sendiri seperti ketuk tilu, wayang golek, topeng banjet, hingga gerakan bela diri yang dikenal dengan sebutan pencak silat.
Sejarah tari jaipong berawal pada tahun 1976 ketika Haji Suanda berinovasi dengan menggabungkan ketrampilan khususnya dalam dunia seni pertunjukan yang beliau kuasai menjadi satu pertunjukan yang unik.  Dari sinilah kemudian tercipta satu kesenian baru yang unik dan menarik bagi seluruh penonton pertunjukan namun pada waktu itu belum disebut dengan tari jaipong.
           Musik pengiring dalam pertunjukan rupanya juga diambil dari berbagai macam alat musik tradisional seperti gendang, gong, alat musik ketuk, dan lain sebagainya. Adapun vokal yang menyertainya biasanya dilakukan oleh seorang perempuan yang biasa disebut dengan nama “sinden”. Ketertarikan masyarakat terhadap salah satu seni garapan Haji Suanda membuat jenis tarian ini kerap menjadi hiburan fenomenal saat itu. Tak heran jika para seniman dari berbagai daerah sangat antusias untuk mempelajari gerakan tari yang terdapat pada kesenian garapan Haji Suanda.
           Salah satu seniman yang gentol belajar gerakan tari kreasi dari Suanda yakni Gugum Gumbira. Setelah menguasainya beliau mengemas ulang gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarian tersebut dan kemudian mulai memperkenalkan tari jaipong.
           Sebagai seorang seniman ternama Gugum Gumbira memang sangat tertarik dengan tari ketuk tilu yang kala itu cukup digemari oleh para seniman nasional. Terinspirasi dari hal tersebut kemudian Gugum Gumbira memperkenalkan gerakan jaipongan sebagai gaya tarian baru ditengah melunturnya ketertarikan masyarakat terhadap gerakan tari lain yang sepertinya monoton saja. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada akhir tahun 1979 tarian ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dari segi pementasan nya, properti yang digunakan, maupun para seniman yang menguasai gerakan tarian ini. Tak heran jika tari ini kemudian dikenal luas hampir di seluruh wilayah Jawa Barat seperti Sukabumi, dan Bogor (http://www.senitari.com : 2015)
C.    Fungsi Tari Jaipong
     Fungsi tari dalam kehidupan manusia, dapat dibedakan menjadi empat,yaitu tari sebagai sarana upacara, sebagai hiburan, seni pertunjukan, dansebagai media pendidikan. Antara keempat jenis tari yang berbeda-beda fungsinya tersebut, masing-masing mempunyai ciri atau kekhasan tersendiri. Namun pada saat ini dari keempat jenis tari tersebut secara sepintas perbedaannya semakin kabur. Banyak seniman tari yang mengambil inspirasi dari tari-tarian upacara magis menjadi sebuah tari pertunjukan. Banyak aspek yang harus diperhatikan, diantaranya adalah:faktor tari sebagai seni (obyek Apresiasi), yaitu bagaimana kita menyajikan suatu tarian yang bernilai estetis, tentu saja hal ini didukung dengan media bantu lain seperti iringan, rias dan busana, dekorasi dan tata pentas yang baik dan komunikatif. Kedua adalah faktor penonton (Apresiator), yang perlu diperhatikan adalah tari yang kita sajikan untuk di komunikasikan kepada penonton. Kedua faktor tersebut harus betul-betul diperhatikan karena keduanya saling mendukung satu sama lain. Begitu juga dengan Tari Jaipong yang memiliki nilai estetis dan memiliki media bantu seperti iringan, rias, busana, dekorasi, tata pentas dan komunikatif,
   Fungsi Tari Jaipong sudah menjadi hiburan rakyat. Dalam seni pertunjukan rakyat ada yang dinamakan aksi dan reaksi. Aksi berarti sebuah penampilan atau pertunjukan kesenian, baik itu tari-tarian maupun pertunjukan musik dengan segala teknik-tekniknya untuk mendapatkan respon dari orang yang menyaksikannya. Sedangkan reaksi adalah respon atau akibat dari aksi yang dipertunjukkan oleh seniman dalam panggung seni. Reaksi dapat berupa senyuman, tawa, canda, maupun tepuk tangan dari penonton ketika melihat sebuah pertunjukan seni.
          sehingga antara seniman (komunikator) dan penontonnya (komunikan) terjadi interaksi atau hubungan timbal balik di antara keduanya dalam sebuah pertunjukan seni. Dalam seni pertunjukan jaipong, komunikasi antara penari dengan penonton terjalin dengan erat. Penonton dapat pula terlibat secara aktif dalam seni pertunjukan Jaipong.
D.    Bentuk Penyajian Tari Jaipong Dan Aspek-Aspek Komunikasi
     Bentuk penyajian tari jaipong mempunyai cara penyajian secara menyeluluruh meliputi unsure-unsur pokok dan pendukung tarian, unsure-unsur itu adalah :
1. Gerakan Tari
a.       Gerakan Bukaan 
Merupakan gerakan pembukaan dalam pertunjukan kesenian Jaipongan dari Bandung. Dalam gerakaan ini sang penari biasanya melakukan jalan berputar disertai dengan memainkan selendang yang dikenakan pada leher pemain.

b.      Pencungan
Pencungan adalah bagian gerakan dari berbagai ragam gerak cepat dalam tarian jaipong. Gerakan ini didukung dengan tempo lagu atau musik yang bertempo cepat pula.
c.       Ngala
Ngala dalam jaipongan adalah salah satu ragam gerakan yang terlihat semacam gerak patah-patah atau titik pemberhentian  dari satu gerakan pada gerakan lain dan dilakukan secara cepat atau dengan kata lain gerakan ini memiliki tempo cepat.
d.      Mincit
Mincit merupakan gerakan perpindahan dari satu ragam gerak ke ragam gerak lain. Gerakan ini dilakukan setelah ada gerakan ngala dalam sebuah tarian Jaipong.
2. Busana Tari Jaipong
Pakaian / busana tari jaipong adalah simbol pada suatu tarian yang memiliki identitas dan diciri khas kan sebagai simbol kesenian yang relevan, ada 3 hal yang erat dalam busana tarian jaipong. Diantaranya adalah :
       a, Sampur
           Jika melihat pementasan tari jaipong tentu akan melihat bentuk dari sampur ini. Bahan sampur terbuat dari kain panjang dan dipakai pada leher para penari, tak jarang dari penonton yang melihatnya menyebutnya dengan selendang karena memang bentuknya menyerupai selendang yang biasa dikenakan oleh perempuan jawa. Selain sebagai salah satu bagian kostum, sampur juga termasuk properti utama para penari jaipongan. Hampir setiap gerakan tarian para penari memainkan kain panjang yang menyerupai selendang ini. Kepiawaian para penari dalam memainkan gemulainya telapak tangan dan siku menimbulkan keunikan gerakan yang mereka pertunjukan.


        b,Apok
Berbeda dengan sampur, apok merupakan sebutan dari baju atas para penari. Tidak berbeda jauh dengan kebaya, ampok juga memiliki kancing layaknya baju yang dikenakan sehari-hari. Warna dan ornamen tidak begitu terlihat dengan jelas pada kain apok ini, hanya beberapa hiasan berupa bunga yang terlihat terbuat dari bordir yang ditempatkan pada beberapa sudut kostum.

        c. Sinjang
           Meskipun pada saat ini kostum para penari jaipong sangat beragam dan penuh dengan kreasi, namun pada awalnya selain terlihat mengenakan kain serupa dengan daster para penari juga mengenakan celana panjang, celana inilah yang kemudian disebut dengan sinjang.
Tata rias merupakan cara atau usaha seseorang untuk mempercantik diri khususnya pada bagian muka atau wajah, menghias diri dalam pergaulan. Tata rias pada seni pertunjukan  diperlukan  untuk menggambarkan/menentukan watak di atas pentas. Tata rias adalah seni menggunakan bahan-bahan kosmetika untuk mewujudkan wajah peranan dengan memberikan dandanan atau perubahan pada para pemain di atas panggung/pentas dengan suasana yang sesuai dan wajar (Harymawan, 1993: 134). Sebagai penggambaran watak di atas pentas selain acting yang dilakukan oleh pemain  diperlukan adanya tata rias sebagai usaha menyusun  hiasan terhadap suatu objek yang akan dipertunjukan.
3. Iringan Musik
Alat musik pengiring tari jaipong yang sangat mencolok adalah kendang. Namun selain kendang / gendang yang dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan tangan kosong, alat musik ini yang menjadi panduan seorang penari jaipong melakukan gerakan yang menarik, selain itu ada pula alat musik lain sebagai pelengkap:
           a,Ketuk
          Merupakan alat musik tradisional yang mirip dengan bonang. Alat ini dimainkan dengan cara diketuk dan menghasilkan suara nyaring sebagai suara tekanan dalam sebuah musik pengiring tari jaipong.

           b,Rebab
          Merupakan alat musik pelengkap dalam menyajikan sebuah lagu pengiring tarian jaipongan. Alat musik ini sedikit mirip dengan girat yang memiliki senar.

          c,Goong
         Suara khas menggelegar dimiliki oleh alat musik yang satu ini, dimainkan dengan cara dipukul menggunakan pemukul dalam hitungan tertentu mengikuti irama musik.

         d.Kecrek
Jika kita kerap menyaksikan pementasan wayang kulit tentunya tidak asing lagi dengan alat musik yang satu ini karena krecek merupakan perkusi dalam sebuah pementasan wayang. “Kecrek kecrek kecrek kecrek” begitulah kurang lebih suara
nya.

         Selain dari keempat alat musik di atas ada pula alat musik lain yang digunakan seperti Kecapi, Demung, Saron, dan juga Bonang. Sementara pelantun lagu/ penyanyi dalam sebuah pertunjukan jaipongan disebut dengan Sinden.
4. Pesan Yang Ingin Di Sampaikan Melalui Tari Jaipong
             Jaipongan sebagai bentuk seni mengandung simbol-simbol tertentu yang dapat dibaca dan ditafsirkan oleh setiap orang. Simbol menjadi sesuatu yang penting bagi manusia. Jaipongan mengandung simbol sebagai pemberontakan dan kebebasan dari kaum perempuan yang selalu terbelunggu dengan berbagai aturan yang sangat mengikat, sehingga membatasi ruang gerak dari kaum perempuan. Dari ungkapan gerak yang dituangkan dalam Jaipongan dapat memberi gambaran bahwa karakter perempuan Sunda kekinian di antaranya penuh semangat, ramah, berani, kuat, jujur, kenes/genit, pejuang, hampang birit atau gesit, lincah, dan tidak membosankan.
            Di samping itu, perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap dalam gerak Jaipongan. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan Sunda adalah pemalas, namun bila membaca Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut sudah tidak relevan lagi sebagai karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara pendapat mengenai perempuan Sunda cantik dan senang berdandan, hal itu tidak dapat dipungkiri karena bila melihat tampilan penari Jaipongan tentu akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan kecantikan (Abdul Azis, 8 : 2007)
E.     Analisis Perkembangan Seni Tradisional
                        Suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda. Sedangkan kesenian non-tradisional, dalam beberapa bidang seni sering disebut kesenian modern, yaitu suatu bentuk seni yang penggarapannya didasarkan atas cita rasa baru di kalangan masyarakat pendukungnya. Cita rasa baru ini umumnya adalah hasil pembaruan atau penemuan (inovasi atau sebagai akibat adanya pengaruh dari luar dan bahkan sering pula ada yang bersumber dari cita rasa “Barat”).
Terdapat kesenian tradisional yang pendukungnya masih banyak, tetapi terdapat pula kesenian tradisional yang pendukungnya mulai surut. Kesenian yang pendukungnya mulai surut pelan-pelan akan lenyap dari muka bumi dan akan tergantikan dengan jenis kesenian yang baru. Kondisi semacam ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan karena merupakan sesuatu yang alamiah (sunatullah). Hanya kesenian yang mampu beradaptasi dengan perubahanlah yang akan tetap eksis. Adaptasi dengan perubahan zaman biasanya dilakukan dengan melakukan modifikasi agar sesuai dengan tuntutan zaman. Dan yang lebih penting, sebagaimana definisi yang dibuat oleh Kasim Achmad, eksistensi kesenian tradisional sangat tergantung kepada bagaimana generasi tua dalam menyiapkan generasi penerus yang akan mengelola kesenian tradisional tersebut di kemudian hari. Jika mereka tidak menyiapkan regenerasi kesenian tradisional dengan baik, terutama untuk para pemainnya, maka masa depan kesenian tradisional tersebut akan terancam.
            Sifat dari benda yang dapat disentuh (touchable) adalah senantiasa berubah, dan kesenian adalah “benda” yang dapat disentuh, sehingga dengan sendirinya juga senantiasa mengalami perubahan. Perubahan bisa berlangsung sangat lama, namun bisa juga sangat cepat. Seni, menurut Ensiklopedi Umum terbitan Kanisius didefinisikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau yang dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama). Jumlah kesenian tradisional di Indonesia mencapai ribuan, sebagian sudah diidentifikasi dan dapat dipelajari, tetapi lebih banyak kesenian tradisional yang tidak teridentifikasi karena hanya berkembang di masyarakat dengan jumlah pendukung yang kecil. Pewarisan kesenian yang tidak teridentifikasi kadang-kadang juga tidak bisa diamati oleh masyarakat dari luar pendukung kesenian tersebut serta oleh para ahli. Akibatnya, kepunahan jenis kesenian tradisional ini juga tidak terdeteksi.
            Banyak orang yang pesimis dengan masa depan kesenian tradisonal. Masalahnya banyak kasus menunjukkan bahwa kesenian tradisional seolah-olah hidup segan mati tak mau akibat tergilas oleh zaman. Rasa pesimis terhadap masa depan kesenian tradisional Jawa sudah dirasakan sejak awal abad ke-20, sebagaimana disampaikan oleh musikologis Belanda, Jaap Kunst, yang banyak meneliti kesenian tradisional di Jawa. Pada tahun 1934 ia meninggalkan Hindia Belanda untuk pulang ke negeri Belanda. Dalam bukunya tentang musik Jawa yang terbit pada tahun kepulangannya ke Belanda ia menuliskan:
Maka musik pribumi ini, hasil ciptaan banyak suku bangsa selama bertahun-tahun, pada saat ini sekali lagi berada dalam suatu periode berbalik arah. Pengaruh asing sekali lagi sedang mempengaruhinya, tetapi kali ini pengaruh yang menyusup tersebut bukan kebudayaan yang paling sedikit punya hubungan keluarga, bahkan bukan yang dapat digolongkan dengan istilah “Timur”, seperti peradaban Nusantara, tetapi pengaruh yang benar-benar asing, yang tidak hanya mengubah nilai-nilai budaya yang ada tanpa merangsang organisme yang dipengaruhinya, tetapi bagaikan asam perusak, bagaikan suatu transfusi dari golongan darah yang berbeda, menyerang dan menghancurkan intinya yang paling dalam. Peradaban Amerika-Eropa begitu asing sehingga tidak dapat diasimilasi dengan kebudayaan Indonesia: paling banter –dan ini hanya dalam bentuknya yang rendah- mungkin menjadi pengganti; sementara berbarengan dengan itu, peradaban tersebut –menurut sifatnya sendiri- begitu agresif dan ekspansionis sehingga tidak dapat ditolak dan juga tidak dapat dihindari.
Rasa pesimistis yang dialami oleh Jaap Kunst sekitar delapan puluh tahun yang lalu terus menghantui sebagian besar penggiat, penikmat, dan pengamat kesenian tradisional hingga saat ini. Rasa pesimistis tersebut timbul karena banyak pelaku kesenian tradisional tidak mampu melakukan regenerasi pendukung jenis kesenian tersebut. Banyak sekali kesenian tradisional yang berangsur-angsur harus kehilangan pendukungnya, pemainnya istirahat. Jika suatu saat kita sempat jalan-jalan ke Yogyakarta, di beberapa perempatan besar akan kita temui pemain jathilan/kuda kepang yang terpaksa ngamen dengan cara bermain jathilan seorang diri dengan diiringi tetabuhan seadanya. Mereka adalah seniman seni tradisional yang sudah kehilangan pendukungnya di arena yang semestinya. Tidak ada jalan lain, mereka harus mengamen di jalanan. Cara tersebut memang menghilangkan peran nyata dari kesenian, yaitu sebagai ekspresi dari si seniman dan sebagai hiburan bagi penonton, karena dunia mengamen di perempatan jalan pada hakekatnya hanya “meminta belas kasihan” pengendara kendaraan bermotor dengan media “seni”. Mengamen di jalanan adalah memaksakan kehendak agar olah seni yang dilakukan oleh si pelaku dihargai dengan uang dalam jumlah yang kecil.
Terdapat tuduhan bahwa suramnya kesenian tradisional akhir-akhir ini merupakan imbas dari modernisasi yang ditandai dengan apa yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai globalisasi, Oleh banyak orang, masa depan kesenian tradisional Indonesia sekarang ini tetap merupakan hal yang menggelisahkan karena dalam banyak hal, kesenian tradisional tidak mampu beradaptasi dengan peribahan yang sangat drastis. Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa banyak juga seniman pendukung kesenian tradisional yang mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut dan akhirnya bisa eksis dengan memanfaatkan arus globalisasi tersebut. Pengaruh dari luar, sebagaimana dirasakan oleh Jaap Kunst pada awal abad ke-20 merupakan ancaman terbesar bagi eksistensi kesenian tradisional. Arus globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya sekat-sekat budaya akibat komunikasi yang tidak terbatas memang disinyalir akan mengaduk-aduk eksistensi kesenian tradisional.

BAB III
PENUTUP
Peranan seni tari Jaipong untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia adalah dengan melalui stimulan individu, social dan komunikasi. Dengan demikian tari jaipong dalam memenuhi kebutuhan individu dan social merupakan alat yang digunakan untuk penyampaian ekspresi jiwa dalam kaitannya dengan kepentingan lingkungan. Oleh karena itu tari jaipong dapat berperan sebagai pemujaan, sarana komunikasi, dan pernyataan batin manusia dalam kaitannya dengan ekspresi kehendak. Secara garis besar fungsi tari ada 3 antara lain :tari sebagai upacara , tari sebagai sarana hiburan dan tari sebagai sarana pertunjukkan
Dalam sebuah tarian jaipong antara tubuh, gerak komposisi tari tidak dapat dipisahkan.Dalam sebuah tarian terdapat unsur-unsur yang membangunnya yakni unsur gerak, tenaga dan waktu.
      
DAFTAR PUSTAKA
Napsirudin, Drs, Dkk. 1996. Pendidikan Seni. Jakarta: Yudhistira.

Budi Hardiman, 2016, SENI MEMAHAMI, Jakarta : Wedatama Widya Sastra

Abdul Azis, “Pencugan Merupakan Kreativitas Tari Jaipongan”, dalam Endang Caturwati (ed) Gugum Gumbira dari Chacha ke Jaipongan, Bandung: Sunan Ambu Press. 2007, h. 8.

Sumber internet



Share on Google Plus

About Hamzah Hayatulloh

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Pages