BAB
I
PENDAHULUAN
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. budaya juga tercipta atau terwujud merupakan hasil dari
interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada dialam raya ini. Manusia
diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk
berkarya dimuka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah dimuka bumi
ini. Disamping itu manusia juga memiliki
akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku.
Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan
kebudayaan.
Ada hubungan dialektika
antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia
itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena
manusia yang menciptakannya dan manusia
dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada
manusia sebagai pendukungnya.
Kebudayaan mempunyai kegunaan
yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan
utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Koentjaraningrat
menjelaskan tiga wujud kebudayaan yaitu gagasan atau wujud ideal, aktifitas,
dan karya. kenyataanya dalam kehidupan bermasyarakat antara wujud kebudayaan
yang satu dengan wujud kebudayaan yang lain tidak bisa dipisahkan. Sebagai
contohnya wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arahan kepada tindakan
dan karya.
Dalam tiga wujud kebudayaan
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat terdapat tujuh unsur kebudayaan
didalamnya, salah satunya adalah kesenian, kesenian merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang bisa menginterpreatasikan gagasan dengan adanya makna di
dalamnya, mewujudkanya dalam berbagai bentuk bisa melalui tarian, ritual,
artepak, lukisan dan lain sebagainya yang menjadi media dalam penyaluran
gagasan setiap penggiatnya.
Hal yang terpenting dalam
proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali
terhadap perilaku reguler yang
ditampilkan oleh penganut kebudayaan yaitu mereka para pegiat seni akan kebudayaan. Bila
melihat Provinsi Jawa Barat maka yang terlintas sekilas adalah kebudayaan
Sunda, tempat lahirnya kebudayaan Sunda dengan segudang kebudayaan yang
menghiasi keindahanya, salah satunya kesenian Tari
Jaipong.
Tari Jaipong adalah merupakan
tari tradisional yang berasal dari Jawa Barat. Sebagai tari tradisional tari
jaipong dikategorikan sebagai tari kreasi yang sifatnya hasil kreatifitas
seniman di Jawa Barat didasarkan pada kesenian tradisi yang sudah ada. Jaipongan atau tari jaipong
ini merupakan tarian yang dibawakan dengan enerjik oleh seorang penari dengan
diiringi oleh musik tradisional gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab serta
alunan lagu dari seorang sinden atau juru kawih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi Seni
seni
adalah istilah subyektif yang merujuk kepada seseorang yang kreatif, atau
inovatif, atau mahir dalam bidang seni, Penggunaan yang paling kerap adalah
untuk menyebut orang-orang yang menciptakan seni, seperti lukisan, patung, seni
peran, seni tari, sastra, film dan musik. Para pegiat seni menggunakan
imajinasi dan bakatnya untuk menciptakan karya dengan nilai estetika. Ahli
sejarah seni dan kritikus seni mendefinisikan Pegiat seni sebagai seseorang
yang menghasilkan seni dalam batas-batas yang diakui.
Untuk
menciptkan dan mengembangkan karya seni, seorang seniman memerlukan ekspresi
dan kreativitas, karena melalui hal tersebut dapat memuculkan originalitas,
keontetikan, keunikan karakter dari hasil karya seni yang diciptakannya.
Seni
bukanlah sebatas benda, tetapi juga meliputi nilai-nilai sebagai respon estetik
dan publik melalui proses pengalaman seni. Seni dan pengalaman tersebut
merupakan bagian dari filsafat seni. Ada tiga persoalan pokok dalam filsafat
seni, yaitu benda sebagai hasil kreasi Pegiat seni, Pegiat seni (seniman), dan
penikmat seni (publik). Dari hasil karya para seniman, akan mucnul reaksi
sebagai hasil proses pemahaman publik (apresiator). Reaksi inilah yang dinamakan
nilai-nilai seni (F. Budi Hardiman, 344 : 2016 )
Seniman
berupaya mengkomunikasikan idenya kepada publik melalui benda-benda seni.
Sebagai apresiator, publik memberikan tanggapannya. Sebuah karya seni tidak
mungkin ada jika tanpa ada para pegiat seni. Pegiat seni menggunakan karya seni
yang dihasilkannya sebagai media untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan
perasaannya kepada publik. Sebuah karya seni pun tidak hanya sebatas pada aspek
kebendaan semata, melainkan juga meliputi aspek nilai yang datang dari publik
sebagai penikmat seni, karena seni memiliki berbagai fungsi penting, antara
lain sebagai media pewarisan budaya, saran hiburan, sarana pendidikan, dan
dapat menimbulkan semangat solidaritas. Dengan demikai ketiga unsur tersebut,
saling bergantung satu sama lain. (Napsirudin, 120: 1996).
Tari Jaipong memiliki
beberapa ciri khas yang ada didalamnya, misalnya yang terdapat pada gaya
kaleran. Pada gaya kaleran terdapat beberapa ciri khasnya, yaituyaitu
keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan. Ciri khas
tersebutlah yang membuat masyarakat semakin tertarik dan antusias terhadap tari
ini, hal tersebut terlihat dalam pola penyajian pada pertunjukkannya, dimana
terdapat tarian yang diberi pola (Ibing Pola) seperti yang terdapat pada Tari
Jaipong yang ada di Bandung, dan terdapat pula tarian yang tidak dipola (Ibing
Saka), misalnya pada Tari Jaipong yang terdapat di Subang dan Karawang. Istilah
tersebut dapat kita temukan pada Tari Jaipong gaya Kaleran, terutama di daerah
Subang. Dalam penyajiannya terdapat gaya kaleran dalam Jaipongan, diantaranya
sebagai berikut :
- Tatalu.
- Kembang Gadung.
- Buah Kawung Gopar.
- Tari Pembukaan (Ibing
Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan
(seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru
kawih).
- Jeblokan dan Jabanan,
merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang
(Jabanan) sambil salam tempel. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan
yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Seiring dengan berjalannya
waktu Tari Japong itu sendiri mengalami perkembangan, dan hal tersebut terjadi
pada tahun 1980-1990-an, dimana Gugum Gumbira menciptakan beberapa tari lainnya
seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Man gut, Iring-firing
Daun Puring, Rawayan dan Tari Kawung Anten.
Saat ini Tari Jaipong boleh
dikatakan sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal tersebut
terlihat pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari
negara asing yang datang berkunjung ke Jawa Barat, dimana para tamu tersebut
akan disambut dan disuguhkan dengan pertunjukan Tari Jaipong. Tari Jaipong
sangat memengaruhi kesenian-kesenian lain yang terdapat di masyarakat Jawa
Barat, baik yang terdapat pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan,
kacapi jaipong, dan hampir di semua pertunjukan rakyat maupun pada musik
dangdut modern dikolaborasikan dengan Jaipong . (kebudayaan1.blogspot.com : 2013)
B.
Sejarah Tari Jaipong
Pada
era 90-an jenis tarian ini kerap mewarnai beberapa film layar lebar di
Indonesia yang tergambar sebagai salah satu hiburan terkenal pada waktu itu.
Adalah Haji Suanda, seorang seniman kelas kakap dari Karawang melahirkan kesenian gerak tari dari hasil kreasinya. Sebagai seorang seniman sejati beliau memiliki talenta yang sangat besar sehingga tak heran jika Haji Suanda mampu menguasai berbagai jenis kesenian dari beberapa daerah sekaligus terlebih dari daerah Karawang Sendiri seperti ketuk tilu, wayang golek, topeng banjet, hingga gerakan bela diri yang dikenal dengan sebutan pencak silat. Sejarah tari jaipong berawal pada tahun 1976 ketika Haji Suanda berinovasi dengan menggabungkan ketrampilan khususnya dalam dunia seni pertunjukan yang beliau kuasai menjadi satu pertunjukan yang unik. Dari sinilah kemudian tercipta satu kesenian baru yang unik dan menarik bagi seluruh penonton pertunjukan namun pada waktu itu belum disebut dengan tari jaipong.
Musik pengiring dalam pertunjukan rupanya juga diambil dari berbagai macam alat musik tradisional seperti gendang, gong, alat musik ketuk, dan lain sebagainya. Adapun vokal yang menyertainya biasanya dilakukan oleh seorang perempuan yang biasa disebut dengan nama “sinden”. Ketertarikan masyarakat terhadap salah satu seni garapan Haji Suanda membuat jenis tarian ini kerap menjadi hiburan fenomenal saat itu. Tak heran jika para seniman dari berbagai daerah sangat antusias untuk mempelajari gerakan tari yang terdapat pada kesenian garapan Haji Suanda.
Salah satu seniman yang gentol belajar gerakan tari kreasi dari Suanda yakni Gugum Gumbira. Setelah menguasainya beliau mengemas ulang gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarian tersebut dan kemudian mulai memperkenalkan tari jaipong.
Sebagai seorang seniman ternama Gugum Gumbira memang sangat tertarik dengan tari ketuk tilu yang kala itu cukup digemari oleh para seniman nasional. Terinspirasi dari hal tersebut kemudian Gugum Gumbira memperkenalkan gerakan jaipongan sebagai gaya tarian baru ditengah melunturnya ketertarikan masyarakat terhadap gerakan tari lain yang sepertinya monoton saja. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada akhir tahun 1979 tarian ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dari segi pementasan nya, properti yang digunakan, maupun para seniman yang menguasai gerakan tarian ini. Tak heran jika tari ini kemudian dikenal luas hampir di seluruh wilayah Jawa Barat seperti Sukabumi, dan Bogor (http://www.senitari.com : 2015)
Adalah Haji Suanda, seorang seniman kelas kakap dari Karawang melahirkan kesenian gerak tari dari hasil kreasinya. Sebagai seorang seniman sejati beliau memiliki talenta yang sangat besar sehingga tak heran jika Haji Suanda mampu menguasai berbagai jenis kesenian dari beberapa daerah sekaligus terlebih dari daerah Karawang Sendiri seperti ketuk tilu, wayang golek, topeng banjet, hingga gerakan bela diri yang dikenal dengan sebutan pencak silat. Sejarah tari jaipong berawal pada tahun 1976 ketika Haji Suanda berinovasi dengan menggabungkan ketrampilan khususnya dalam dunia seni pertunjukan yang beliau kuasai menjadi satu pertunjukan yang unik. Dari sinilah kemudian tercipta satu kesenian baru yang unik dan menarik bagi seluruh penonton pertunjukan namun pada waktu itu belum disebut dengan tari jaipong.
Musik pengiring dalam pertunjukan rupanya juga diambil dari berbagai macam alat musik tradisional seperti gendang, gong, alat musik ketuk, dan lain sebagainya. Adapun vokal yang menyertainya biasanya dilakukan oleh seorang perempuan yang biasa disebut dengan nama “sinden”. Ketertarikan masyarakat terhadap salah satu seni garapan Haji Suanda membuat jenis tarian ini kerap menjadi hiburan fenomenal saat itu. Tak heran jika para seniman dari berbagai daerah sangat antusias untuk mempelajari gerakan tari yang terdapat pada kesenian garapan Haji Suanda.
Salah satu seniman yang gentol belajar gerakan tari kreasi dari Suanda yakni Gugum Gumbira. Setelah menguasainya beliau mengemas ulang gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarian tersebut dan kemudian mulai memperkenalkan tari jaipong.
Sebagai seorang seniman ternama Gugum Gumbira memang sangat tertarik dengan tari ketuk tilu yang kala itu cukup digemari oleh para seniman nasional. Terinspirasi dari hal tersebut kemudian Gugum Gumbira memperkenalkan gerakan jaipongan sebagai gaya tarian baru ditengah melunturnya ketertarikan masyarakat terhadap gerakan tari lain yang sepertinya monoton saja. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada akhir tahun 1979 tarian ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dari segi pementasan nya, properti yang digunakan, maupun para seniman yang menguasai gerakan tarian ini. Tak heran jika tari ini kemudian dikenal luas hampir di seluruh wilayah Jawa Barat seperti Sukabumi, dan Bogor (http://www.senitari.com : 2015)
C.
Fungsi Tari Jaipong
Fungsi tari dalam kehidupan manusia, dapat dibedakan
menjadi empat,yaitu tari sebagai sarana upacara, sebagai hiburan, seni
pertunjukan, dansebagai media pendidikan. Antara keempat jenis tari yang
berbeda-beda fungsinya tersebut, masing-masing mempunyai
ciri atau kekhasan tersendiri. Namun pada saat ini dari
keempat jenis tari tersebut secara sepintas
perbedaannya semakin kabur. Banyak seniman tari yang mengambil inspirasi dari tari-tarian upacara magis
menjadi sebuah tari pertunjukan. Banyak aspek yang harus
diperhatikan, diantaranya adalah:faktor tari sebagai seni (obyek Apresiasi),
yaitu bagaimana kita menyajikan suatu
tarian yang bernilai estetis, tentu saja hal ini didukung dengan media bantu lain seperti iringan, rias dan busana, dekorasi
dan tata pentas yang baik dan komunikatif. Kedua adalah faktor
penonton (Apresiator), yang perlu
diperhatikan adalah tari yang kita sajikan untuk di komunikasikan kepada
penonton. Kedua faktor tersebut harus betul-betul diperhatikan karena keduanya saling mendukung satu sama lain. Begitu juga dengan Tari
Jaipong yang memiliki nilai estetis dan memiliki media bantu seperti iringan,
rias, busana, dekorasi, tata pentas dan komunikatif,
Fungsi Tari Jaipong sudah menjadi hiburan
rakyat. Dalam seni pertunjukan rakyat ada yang dinamakan aksi dan reaksi. Aksi
berarti sebuah penampilan atau pertunjukan kesenian, baik itu tari-tarian
maupun pertunjukan musik dengan segala teknik-tekniknya untuk mendapatkan
respon dari orang yang menyaksikannya. Sedangkan reaksi adalah respon atau
akibat dari aksi yang dipertunjukkan oleh seniman dalam panggung seni. Reaksi
dapat berupa senyuman, tawa, canda, maupun tepuk tangan dari penonton ketika
melihat sebuah pertunjukan seni.
sehingga antara seniman (komunikator) dan penontonnya (komunikan) terjadi interaksi atau hubungan timbal balik di antara keduanya dalam sebuah pertunjukan seni. Dalam seni pertunjukan jaipong, komunikasi antara penari dengan penonton terjalin dengan erat. Penonton dapat pula terlibat secara aktif dalam seni pertunjukan Jaipong.
sehingga antara seniman (komunikator) dan penontonnya (komunikan) terjadi interaksi atau hubungan timbal balik di antara keduanya dalam sebuah pertunjukan seni. Dalam seni pertunjukan jaipong, komunikasi antara penari dengan penonton terjalin dengan erat. Penonton dapat pula terlibat secara aktif dalam seni pertunjukan Jaipong.
D.
Bentuk Penyajian Tari Jaipong
Dan Aspek-Aspek Komunikasi
Bentuk
penyajian tari jaipong mempunyai cara penyajian secara menyeluluruh meliputi
unsure-unsur pokok dan pendukung tarian, unsure-unsur itu adalah :
1. Gerakan Tari
1. Gerakan Tari
a.
Gerakan Bukaan
Merupakan gerakan pembukaan dalam pertunjukan kesenian Jaipongan dari
Bandung. Dalam gerakaan ini sang penari biasanya melakukan jalan berputar
disertai dengan memainkan selendang yang dikenakan pada leher pemain.
b.
Pencungan
Pencungan adalah bagian gerakan dari berbagai ragam gerak cepat dalam
tarian jaipong. Gerakan ini didukung dengan tempo lagu atau musik yang bertempo
cepat pula.
c.
Ngala
Ngala dalam jaipongan adalah salah satu ragam gerakan yang terlihat semacam
gerak patah-patah atau titik pemberhentian dari satu gerakan pada gerakan
lain dan dilakukan secara cepat atau dengan kata lain gerakan ini memiliki
tempo cepat.
d.
Mincit
Mincit merupakan gerakan perpindahan dari satu ragam gerak ke ragam gerak
lain. Gerakan ini dilakukan setelah ada gerakan ngala dalam sebuah tarian
Jaipong.
2. Busana Tari Jaipong
Pakaian / busana tari jaipong adalah simbol pada suatu tarian yang
memiliki identitas dan diciri khas kan sebagai simbol kesenian yang relevan, ada 3 hal yang erat dalam busana tarian jaipong.
Diantaranya adalah :
a, Sampur
Jika melihat pementasan tari jaipong
tentu akan melihat bentuk dari sampur ini. Bahan sampur terbuat dari kain
panjang dan dipakai pada leher para penari, tak jarang dari penonton yang
melihatnya menyebutnya dengan selendang karena memang bentuknya menyerupai
selendang yang biasa dikenakan oleh perempuan jawa. Selain sebagai salah satu
bagian kostum, sampur juga termasuk properti utama para penari jaipongan.
Hampir setiap gerakan tarian para penari memainkan kain panjang yang menyerupai
selendang ini. Kepiawaian para penari dalam memainkan gemulainya telapak tangan
dan siku menimbulkan keunikan gerakan yang mereka pertunjukan.
b,Apok
Berbeda dengan sampur, apok
merupakan sebutan dari baju atas para penari. Tidak berbeda jauh dengan kebaya,
ampok juga memiliki kancing layaknya baju yang dikenakan sehari-hari. Warna dan
ornamen tidak begitu terlihat dengan jelas pada kain apok ini, hanya beberapa hiasan
berupa bunga yang terlihat terbuat dari bordir yang ditempatkan pada beberapa
sudut kostum.
c. Sinjang
Meskipun pada saat ini
kostum para penari jaipong sangat beragam dan penuh dengan kreasi, namun pada
awalnya selain terlihat mengenakan kain serupa dengan daster para penari juga
mengenakan celana panjang, celana inilah yang kemudian disebut dengan sinjang.
Tata rias merupakan
cara atau usaha seseorang untuk mempercantik diri khususnya pada bagian muka
atau wajah, menghias diri dalam pergaulan. Tata rias pada seni
pertunjukan diperlukan untuk menggambarkan/menentukan
watak di atas pentas. Tata rias adalah seni menggunakan bahan-bahan kosmetika
untuk mewujudkan wajah peranan dengan memberikan dandanan atau perubahan pada
para pemain di atas panggung/pentas dengan suasana yang sesuai dan wajar
(Harymawan, 1993: 134). Sebagai penggambaran watak di atas pentas selain acting yang
dilakukan oleh pemain diperlukan adanya tata rias sebagai usaha
menyusun hiasan terhadap suatu objek yang akan dipertunjukan.
3. Iringan Musik
Alat
musik pengiring tari jaipong yang
sangat mencolok adalah kendang. Namun selain kendang / gendang yang dimainkan dengan cara ditabuh
menggunakan tangan kosong, alat musik ini yang menjadi panduan seorang penari jaipong
melakukan gerakan yang menarik, selain itu ada pula alat musik lain sebagai
pelengkap:
a,Ketuk
Merupakan alat musik tradisional yang mirip dengan bonang. Alat ini dimainkan dengan cara diketuk dan menghasilkan suara nyaring sebagai suara tekanan dalam sebuah musik pengiring tari jaipong.
a,Ketuk
Merupakan alat musik tradisional yang mirip dengan bonang. Alat ini dimainkan dengan cara diketuk dan menghasilkan suara nyaring sebagai suara tekanan dalam sebuah musik pengiring tari jaipong.
b,Rebab
Merupakan alat musik pelengkap dalam menyajikan sebuah lagu pengiring tarian jaipongan. Alat musik ini sedikit mirip dengan girat yang memiliki senar.
c,Goong
Suara khas menggelegar dimiliki oleh alat musik yang satu ini, dimainkan dengan cara dipukul menggunakan pemukul dalam hitungan tertentu mengikuti irama musik.
d.Kecrek
Jika kita kerap menyaksikan pementasan wayang kulit tentunya tidak asing lagi dengan alat musik yang satu ini karena krecek merupakan perkusi dalam sebuah pementasan wayang. “Kecrek kecrek kecrek kecrek” begitulah kurang lebih suaranya.
Selain dari keempat alat musik di atas ada pula alat musik lain yang digunakan seperti Kecapi, Demung, Saron, dan juga Bonang. Sementara pelantun lagu/ penyanyi dalam sebuah pertunjukan jaipongan disebut dengan Sinden.
4. Pesan Yang Ingin Di
Sampaikan Melalui Tari Jaipong
Jaipongan sebagai bentuk seni mengandung simbol-simbol
tertentu yang dapat dibaca dan ditafsirkan oleh setiap orang. Simbol menjadi
sesuatu yang penting bagi manusia. Jaipongan mengandung simbol sebagai
pemberontakan dan kebebasan dari kaum perempuan yang selalu terbelunggu dengan
berbagai aturan yang sangat mengikat, sehingga membatasi ruang gerak dari kaum
perempuan. Dari ungkapan gerak yang dituangkan dalam Jaipongan dapat memberi
gambaran bahwa karakter perempuan Sunda kekinian di antaranya penuh semangat,
ramah, berani, kuat, jujur, kenes/genit, pejuang, hampang birit atau gesit,
lincah, dan tidak membosankan.
Di samping itu, perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap dalam gerak Jaipongan. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan Sunda adalah pemalas, namun bila membaca Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut sudah tidak relevan lagi sebagai karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara pendapat mengenai perempuan Sunda cantik dan senang berdandan, hal itu tidak dapat dipungkiri karena bila melihat tampilan penari Jaipongan tentu akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan kecantikan (Abdul Azis, 8 : 2007)
Di samping itu, perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap dalam gerak Jaipongan. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan Sunda adalah pemalas, namun bila membaca Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut sudah tidak relevan lagi sebagai karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara pendapat mengenai perempuan Sunda cantik dan senang berdandan, hal itu tidak dapat dipungkiri karena bila melihat tampilan penari Jaipongan tentu akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan kecantikan (Abdul Azis, 8 : 2007)
E.
Analisis Perkembangan Seni
Tradisional
Suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar
serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya.
Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Hasil kesenian
tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari
angkatan tua kepada angkatan muda. Sedangkan kesenian non-tradisional, dalam
beberapa bidang seni sering disebut kesenian modern, yaitu suatu bentuk seni
yang penggarapannya didasarkan atas cita rasa baru di kalangan masyarakat
pendukungnya. Cita rasa baru ini umumnya adalah hasil pembaruan atau penemuan
(inovasi atau sebagai akibat adanya pengaruh dari luar dan bahkan sering pula
ada yang bersumber dari cita rasa “Barat”).
Terdapat
kesenian tradisional yang pendukungnya masih banyak, tetapi terdapat pula
kesenian tradisional yang pendukungnya mulai surut. Kesenian yang pendukungnya
mulai surut pelan-pelan akan lenyap dari muka bumi dan akan tergantikan dengan
jenis kesenian yang baru. Kondisi semacam ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan
karena merupakan sesuatu yang alamiah (sunatullah). Hanya
kesenian yang mampu beradaptasi dengan perubahanlah yang akan tetap eksis.
Adaptasi dengan perubahan zaman biasanya dilakukan dengan melakukan modifikasi
agar sesuai dengan tuntutan zaman. Dan yang lebih penting, sebagaimana definisi
yang dibuat oleh Kasim Achmad, eksistensi kesenian tradisional sangat
tergantung kepada bagaimana generasi tua dalam menyiapkan generasi penerus yang
akan mengelola kesenian tradisional tersebut di kemudian hari. Jika mereka
tidak menyiapkan regenerasi kesenian tradisional dengan baik, terutama untuk
para pemainnya, maka masa depan kesenian tradisional tersebut akan terancam.
Sifat dari benda yang dapat disentuh (touchable) adalah
senantiasa berubah, dan kesenian adalah “benda” yang dapat disentuh, sehingga
dengan sendirinya juga senantiasa mengalami perubahan. Perubahan bisa
berlangsung sangat lama, namun bisa juga sangat cepat. Seni, menurut
Ensiklopedi Umum terbitan Kanisius didefinisikan sebagai penjelmaan rasa indah
yang terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni
suara), penglihatan (seni lukis), atau yang dilahirkan dengan perantaraan gerak
(seni tari, drama). Jumlah kesenian tradisional di Indonesia mencapai
ribuan, sebagian sudah diidentifikasi dan dapat dipelajari, tetapi lebih banyak
kesenian tradisional yang tidak teridentifikasi karena hanya berkembang di
masyarakat dengan jumlah pendukung yang kecil. Pewarisan kesenian yang tidak
teridentifikasi kadang-kadang juga tidak bisa diamati oleh masyarakat dari luar
pendukung kesenian tersebut serta oleh para ahli. Akibatnya, kepunahan jenis
kesenian tradisional ini juga tidak terdeteksi.
Banyak orang yang pesimis dengan masa depan kesenian tradisonal. Masalahnya
banyak kasus menunjukkan bahwa kesenian tradisional seolah-olah hidup segan
mati tak mau akibat tergilas oleh zaman. Rasa pesimis terhadap masa depan
kesenian tradisional Jawa sudah dirasakan sejak awal abad ke-20, sebagaimana
disampaikan oleh musikologis Belanda, Jaap Kunst, yang banyak meneliti kesenian
tradisional di Jawa. Pada tahun 1934 ia meninggalkan Hindia Belanda untuk
pulang ke negeri Belanda. Dalam bukunya tentang musik Jawa yang terbit pada
tahun kepulangannya ke Belanda ia menuliskan:
Maka
musik pribumi ini, hasil ciptaan banyak suku bangsa selama bertahun-tahun, pada
saat ini sekali lagi berada dalam suatu periode berbalik arah. Pengaruh asing
sekali lagi sedang mempengaruhinya, tetapi kali ini pengaruh yang menyusup
tersebut bukan kebudayaan yang paling sedikit punya hubungan keluarga, bahkan
bukan yang dapat digolongkan dengan istilah “Timur”, seperti peradaban
Nusantara, tetapi pengaruh yang benar-benar asing, yang tidak hanya mengubah
nilai-nilai budaya yang ada tanpa merangsang organisme yang dipengaruhinya,
tetapi bagaikan asam perusak, bagaikan suatu transfusi dari golongan darah yang
berbeda, menyerang dan menghancurkan intinya yang paling dalam. Peradaban
Amerika-Eropa begitu asing sehingga tidak dapat diasimilasi dengan kebudayaan
Indonesia: paling banter –dan ini hanya dalam bentuknya yang rendah- mungkin
menjadi pengganti; sementara berbarengan dengan itu, peradaban tersebut
–menurut sifatnya sendiri- begitu agresif dan ekspansionis sehingga tidak dapat
ditolak dan juga tidak dapat dihindari.
Rasa
pesimistis yang dialami oleh Jaap Kunst sekitar delapan puluh tahun yang lalu
terus menghantui sebagian besar penggiat, penikmat, dan pengamat kesenian
tradisional hingga saat ini. Rasa pesimistis tersebut timbul karena banyak
pelaku kesenian tradisional tidak mampu melakukan regenerasi pendukung jenis
kesenian tersebut. Banyak sekali kesenian tradisional yang berangsur-angsur
harus kehilangan pendukungnya, pemainnya istirahat. Jika suatu saat kita sempat
jalan-jalan ke Yogyakarta, di beberapa perempatan besar akan kita temui pemain
jathilan/kuda kepang yang terpaksa ngamen dengan cara bermain jathilan seorang
diri dengan diiringi tetabuhan seadanya. Mereka adalah seniman seni tradisional
yang sudah kehilangan pendukungnya di arena yang semestinya. Tidak ada jalan
lain, mereka harus mengamen di jalanan. Cara tersebut memang menghilangkan
peran nyata dari kesenian, yaitu sebagai ekspresi dari si seniman dan sebagai
hiburan bagi penonton, karena dunia mengamen di perempatan jalan pada
hakekatnya hanya “meminta belas kasihan” pengendara kendaraan bermotor dengan
media “seni”. Mengamen di jalanan adalah memaksakan kehendak agar olah seni
yang dilakukan oleh si pelaku dihargai dengan uang dalam jumlah yang kecil.
Terdapat
tuduhan bahwa suramnya kesenian tradisional akhir-akhir ini merupakan imbas
dari modernisasi yang ditandai dengan apa yang oleh sebagian pengamat disebut
sebagai globalisasi,
Oleh banyak orang, masa depan
kesenian tradisional Indonesia sekarang ini tetap merupakan hal yang
menggelisahkan karena dalam banyak hal, kesenian tradisional tidak mampu
beradaptasi dengan peribahan yang sangat drastis. Tidak bisa dipungkiri memang,
bahwa banyak juga seniman pendukung kesenian tradisional yang mampu beradaptasi
dengan perubahan tersebut dan akhirnya bisa eksis dengan memanfaatkan arus
globalisasi tersebut. Pengaruh dari luar, sebagaimana dirasakan oleh Jaap Kunst
pada awal abad ke-20 merupakan ancaman terbesar bagi eksistensi kesenian
tradisional. Arus globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya
sekat-sekat budaya akibat komunikasi yang tidak terbatas memang disinyalir akan
mengaduk-aduk eksistensi kesenian tradisional.
BAB III
PENUTUP
Peranan seni tari Jaipong untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia adalah
dengan melalui stimulan individu, social dan komunikasi. Dengan demikian tari jaipong
dalam memenuhi kebutuhan individu dan social merupakan alat yang digunakan
untuk penyampaian ekspresi jiwa dalam kaitannya dengan kepentingan lingkungan.
Oleh karena itu tari jaipong dapat berperan sebagai pemujaan, sarana
komunikasi, dan pernyataan batin manusia dalam kaitannya dengan ekspresi
kehendak. Secara garis besar fungsi tari ada 3 antara lain :tari sebagai
upacara , tari sebagai sarana hiburan dan tari sebagai sarana pertunjukkan
Dalam sebuah tarian jaipong antara tubuh, gerak komposisi tari tidak
dapat dipisahkan.Dalam sebuah tarian terdapat unsur-unsur yang membangunnya
yakni unsur gerak, tenaga dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Napsirudin,
Drs, Dkk. 1996. Pendidikan Seni.
Jakarta: Yudhistira.
Budi Hardiman, 2016, SENI MEMAHAMI, Jakarta : Wedatama Widya Sastra
Abdul
Azis, “Pencugan Merupakan Kreativitas Tari Jaipongan”, dalam Endang Caturwati
(ed) Gugum Gumbira dari Chacha ke Jaipongan, Bandung: Sunan Ambu Press. 2007,
h. 8.
Sumber internet

0 komentar:
Post a Comment