SKRIPSI KOMUNIKASI AGAMA MASYARAKAT DAN MEDIA

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai ilmu pengetahuan, dakwah tidak tertinggal jauh oleh cabang-cabang ilmu lainnya. Apalagi di era sekarang ini yang serba modern, dakwah metode cultural kurang berpengaruh dalam masyarakat apalagi masyarakat kota. Islam merupakan agama dakwah, yaitu agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk mengajak segenap manusia supaya beriman, beramal dan berkarya serta menata kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dakwah sebagai tugas mulia dalam pelaksanaannya belum dikelola dengan baik. Menurut kamus bahasa arab da’a, yad’u, da’watan yang berarti menyeru, mengundang atau ajakan. Inilah Allah SWT dalam menugaskan dan memberitahu kepada orang-orang mukmin tentang dakwah. Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia yaitu salah satunya adalah Dakwah Kontemporer.
Adapun metode yang harusnya ditempuh oleh para dai adalah dengan menggunakan kalimat yang lembut, tidak kasar apalagi mencacinya, dan apapun ketika seseorang itu menolaknya maka ajaklah ia dengan berdiskusi atau berdialog dengan argument-argumen yang kuat sehingga bisa meyakinkan dan tidak pula tetap dengan suasana yeng tentram. Dakwah menjadi kajian akademik kira-kira pada abad ke-20 setelah adanya beberapa tulisan yang membicarakan tentang dakwah yang diperkuat dengan berdirinya jurusan dakwah pada fakultas-fakultas. Dengan lahirnya dakwah kontemporer ini, para penda’I dapat bersaing secara sehat dengan ilmu-ilmu lainnya yang telah berkembang begitu cepat, apalagi dengan lahirnya internet yang semakin hari semakin canggih dan semakin mudah berkembang serta semakin mempengaruhi orang yang menggunakan
Dewasa ini, tantangan dakwah tampaknya semakin berat, terutama tantangan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak dari arus modernisasi dan globalisasi. Walaupun di balik tantangan tersebut sesungguhnya juga menawarkan peluang-peluang yang harus dimanfaatkan. Tantangan dakwah kontemporer dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu: Pertama, tantangan yang merupakan ekses atau dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi buruk dari globalisasi. Kedua, tantangan yang berasal dari pihak non-Muslim, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, berbagai progam dan strategi yang mereka lakukan. Ketiga, tantangan dakwah akibat dari berbagai persoalan kebangsaan yang memberikan efek negatif kepada kegiatan dakwah. Sementara pada sisi lain, dakwah juga dihadapkan dengan persoalan kemiskinan, terutama dampak dari krisis ekonomi, yang telah mengakibatkan penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu, tantangan atau permasalahan pemurtadan dan ghazwul Fikr yang dilakukan pihak non-Muslim dan hal ini hanya selalu diwaspadai. Dalam konteks ghaswul Fikr, terdapat berbagai tuduhan dari pihak luar Islam seperti Islam dikembangkan dengan pedang dan perang, serta tuduhan Islam agama teroris.
Mereka telah menyalahgunakan kebebasan berekspresi untuk memprovokasi, menghina keyakinan dan melukai hati umat Islam. Semua bentuk serangan terhadap Islam, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks dakwah, semua tuduhan itu harus dijawab secara akademis, bukan dengan sentiment yang berlebihan. Sejauh ini memang sudah ada beberapa upaya untuk mengkanternya, seperti yang dilakukan oleh Irena Handono dan teman-temannya. Ia menulis buku dengan judul: Islam Dihujat: Menjawab buku the Islamic Invasion. Ke depan usaha-usaha seperti itu, harus dilakukan, sehingga ada keseimbangan antara informasi dan wawasan bagi masyarakat dunia.
Tantangan dakwah pada tataran nasional juga sangat beragam. Bangsa Indonesia sekarang sedang melangkah dari kehidupan agraris yang bersahaja kepada kehidupan industry. Proses industrialism dan modernisasi, manusia dapat lupa terhadap hakikat hidup dan fungsi ganda yang diembankannya, yaitu sebagai pengabdi kepada Allah (abdun), sebagai khalifah dan penerus risalah kenabian. Manusia dapat menjadi makhluk penyembah teknologi, materu dan kepada sesame. Kalau kondisi ini muncul akibatnya akan menghasilkan industri yang mengelu-elukan teknologi, serta muncul sikap mental arogan terhadap nilai-nilai transenden yang ditawarkan oleh wahyu Ilahi. Kemudian pada gilirannya akan menjurus kepada pemikiran dan sikap hidup yang sekuler, baik dalam pengertian pemisahan agama dengan politik, maupun dalam pengertian terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.
Dakwah Islam dituntut untuk memberikan nilai terhadap ilmu pengetahuan, yaitu pada tahap aksiologis, sehingga penerapan ilmu tidak memberikan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia. Demikian juga halnya dalam penerapan teknologi. Baik terhadap ilmu pengetahuan maupun terhadap teknologi, yang sangat menentukan disinilah adalah manusianya yang mengendalikan ilmu dan teknologi itu. Tantangan berikutnya, yang semakin terasa saat ini adalah akibat dari munculnya era globalisasi. Pada era ini, dunia terasa tidak luas lagi dan kehidupann manusia antar Negara menjadi transparan. Akibatnya adalah muncul nilai-nilai baru yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Media massa saat ini, seperti radio, televisi, pers dan teknologi mutakhir, dikuasai oleh pihak barat. Dalam konteks dakwah keberadaannya harus selalu diperhitungkan, sebab secara teori media masa mempunyai fungsi memberikan informasi (to inform), mendidik (to educated) dan menghibur (to entertainment). Media massa juga bersifat ambivalen, pada satu sisi menawarkan “rahmat” yaitu kebaikan, kemudahan, dan pencerahan kepada umat manusia sebagaimana fungsi diatas


BAB II
KRITIK DAN EVALUASI METODOLOGI DAN STRATEGI DAKWAH KOTEMPORER

Dakwah kontemporer adalah Dakwah yang dilakukan dengan cara menggunakan teknologi modern yang sedang berkembang. Dakwah kontemporer ini sangat cocok apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas. Teknis dakwah kontemporer ini lain dengan dakwah Kultural.
Dalam pembahasan ini penekanannya adalah cara melaksanakan dakwah saat ini.  Melakukan dakwah yang sebenarnya adalah hal yang sangat mudah. Karena melakukan dakwah dimana saja dan kapan saja.  Menyampaikan dakwah kita pertama harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Salah satu metode dakwah yang sampai saat inimasih relevan dipraktekkan oleh para da’i adalah dapat merujuk kepada Hadis Nabi sebagai berikut: Permudahlah, jangan mempersulit, sampaikan kabar gembira dan jangan membuat orang lari (HR. Bukhari). Mempermudah urusan bukanlah mebolehkan segala sesuatu, hal yang dalam kehidupan ini. Misalnya, apabila seseorang baru masuk Islam misalnya. Setelah ia mengucapkan dua Kalimah Syahadat. Maunya jangan langsung dengan serta merta kita menyuruh membayar zakat, dan naik haji. Akan tetapi jika ia baru saja masuk Islam maka kita memberikan kabar-gembira, kabar yang menyenangkan serta menyejukkan. Misalnya kita memberikan penjelasan bahwa Islam Agama yang menghormati sesama manusia misalanya.
Metode bagian dari komponen dakwah menjadi amat menentukan dalam menggapai keberhasilan dakwah. Sebab betapapun pandainya juru dakwah, apabila tidak mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh obyek dakwah akan mengalami kesulitan dalam menentukan metode dakwah. Kemudian apabila metode dakwah yang ditentukan tidak sesuai, maka akan menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Menurut Sayyid Quthub sebagaimana yang dikutip Awaluddin Pimai, ayat ini telah menetapkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar dakwah, menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh serta cara-cara penyampaiannya.[1] Jadi menurut ayat tersebut, metode dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga metode yang meliputi hikmah, nasehat yang baik dan berdebat dengan cara yang baik.
1.      Metode dakwah dengan cara hikmah
Pengertian hikmah secara luas meliputi cara atau taktik dakwah yang diperlukan dalam menghadapi golongan cerdik pandai, golongan awam atau semua golongan atau lapisan masyarakat. Ada beberapa metode yang termasuk dalam kategori hikmah dengan unsur amal perbuatan yaitu :
a.       Silaturrahiem; door to door/ face to face;
Metode dakwah dinilai efektif apabila dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat islam yaitu metode silaturrahmi. Kelebihan menggunakan metode ini adalah :
1)        Membina persaudaraan, bertukar pendapat dan pengalaman
2)        Silaturrahmi (mengunjungi teman) adalah suatu kewajiban umat Islam, sehingga selain memiliki aktivitas dakwah, sekaligus menunaikan kewajiban sesama Muslim.
3)        Mudah dilaksanakan tidak memerlukan biaya yang banyak.
b.      Aksi sosial (dakwah bi al hal)
Saat ini tidak hanya lembaga-lembaga dakwah yang menyelenggarakan kegiatan aksi sosial namun sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan yang memiliki program yang sering disebut dengan CSR (corporate social responsibility) menyisihkan dana untuk melakukan kegiatan sosial seperti bagi-bagi hadiah (umroh gratis), wakaf, sodaqoh, khitanan masal, pemberian santunan/social work terhadap anak yatim, janda-janda, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan sebagainya.
c.       Dakwah Tulisan ( dakwah bi al Kitabah)
Dakwah yang dilakukan dengan perantaraan kata-kata/kalimat yang ditulis, sebagai usaha pengembangan atau penambah media lisan. Dakwah ini dapat dilakukan lewat surat kabar, majalah, bulletin, spanduk, lukisan dan sebagainya.
d.      Dakwah Virtual
Ada fenomena globalisasi dengan menggunakan internet (virtual), diseluruh kawasan yang didaerahnya terdapat jaringan komunikasi yang bisa mengakses internet. Saat ini internet dikatakan sebagai mesin yang serba tahu, internet sebagai mesin pintar yang tahu semua, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ekspresi umat islam dalam ruang internet. Ternyata ada beberapa hal ekspresi yang dapat dilakukan umat islam yaitu :[2]
1)        Ruang Sharing dan Downloading ;
Al-Qur’an Lengkap dengan aneka bacaan dan tafsirnya. Hadits Nabi lengkap dengan terjemah dan tafsirnya juga. Buku-buku keislaman dengan berbagai bahasa musik islami, dari tradisional sampai modern. Video-video ceramah atau film-film dan lain-lain.
2)        Ruang ekspresi kata-kata dan foto-foto yang muncul hampir tanpa sensor:Facebook menjadi contoh ideal hal ini, dari pribadi manusia yang ‘narsis’ hingga  reaksi terhadap isu-isu baik positif maupun negatif
3)        Fenomena reaksi umat Islam terhadap isu-isu kontroversial ;
4)        Blog dan website pemikiran islam dari blog pribadi sampai ke website lembaga
5)        Fenomena ensiklopedia online. Entri-entri islam di wikipedia, dan sebagainya.
e.    Wisata keagamaan
Wisata keagamaan disajikan dalam bentuk kegiatan ‘refresing’ penyegaran kembali dengan menggugah hati manusia untuk mengambil nilai-nilai historis peristiwa masa lampau. Ada pelajaran yang unik dengan wisata keagamaan karena sejarah tidak dapat dihilangkan, namun dipelihara untuk diambil hikmahnya. Biasanya kegiatan ini dalam bentuk-bentuk ziarah ketempat-tempat bersejarah, haji, umroh dan sebagainya.
2.      Metode dengan ‘ nasehat yang baik’
Dakwah bi al-mau’izhatil hasanah (dengan pelajaran yang baik) dipahami oleh banyak pakar dan penulis kajian ilmu dakwah pada sudut pemahaman yaitu kemampuan juru dakwah dalam memilih materi dakwah itu sendiri. Padahal pengertiannya lebih luas daripada sekedar kemampuan memilih materi dakwah.
Dakwah dengan pelajaran yang baik ialah dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam perasaan dengan lemah lembut, tidak bersikap menghardik, memarahi atas kesalahan-kesalahan penerima dakwah. Karena itu, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan majelis-majelis taklim yang tumbuh subur dan terorganisir dengan baik dipandang sebagai langkah positif dalam pelaksanaan dakwah dengan pelajaran yang baik. Demikian pula penyajian materi dakwah, tidak hanya bertumpu pada metode ceramah, tetapi bisa dikombinasikan dengan metode cerita sebagaimana nabi Muhammad saw sering menggunakan metode cerita untuk menambah keyakinan sahabatnya dan menjadi pelajaran yang baik bagi umatnya.
3.      Metode dakwah Mujadalah
Istilah didalam alqur’an yang hampir sama dengan mujadalah, yaitu mukabaroh danmunadzarah, perbedaan istilah itu hanya pada tujuannya, ada yang bertujuan untuk diskusi mencari kemenangan dalam rangka mencari kepuasan diri, ada yang bertujuan mencari titik lemah pihak lawan dengan menampakkan kesombongannya, ada pula yang bertujuan untuk mencari kebenaran.[3]
Rosululloh saw dari berbagai kesempatan juga menggunakan mujadalah ini, baik dengan para sahabat maupun dengan pihak non muslim. Dalam situasi reformasi seperti sekarang ini, metode diskusi dan sejenisnya menjadi sangat tepat dan populer, baik dalam mensosialisasikan sesuatu yang baru, kepentingan politik, mencari simpati maupun lainnya.
Usaha yang dapat dilakukan forum dialog yang diadakan dalam berbagai bentuk seperti symposium, seminar, workshop, lokakarya tampaknya lebih menarik perhatian masyarakat golongan cerdik pandai dan golongan terpelajar dengan cara mempelajari atau menyampaikan bahan dengan jalan mendiskusikan sehingga menimbulkan pengertian serta perubahan kepada penerima dakwah. Diskusi dapat pula digunakan untuk memecahkan masalah maupun memberikan sumbangan pikiran terhadap masalah bersama. Kebaikan metode ini suasana dakwah lebih hidup, dapat menimbulkan sikap toleransi, demokrasi, kritis serta bahan yang dibahas lebih mendalam dan meninggalkan kesan internal jiwa penerima dakwah.
Mujadalah dapat juga dilaksanakan langsung dengan peserta, atau melalui media massa, cetak maupun elektronik, seperti dialog interaktif, pengajian interaktif. Contohnya: pengajian ustadzah Qurrota’ayyun, ustadz Cepot, yang mengintegrasikan antara dialog (tanya jawab), ceramah yang bertemakan kebutuhan nyata masyarakat dengan memanfaatkan media televisi. Metode yang dilakukan memiliki kriteria penguasaan bahasa, bahan yang sesuai, suara/intonasi, sikap/cara berdiri/duduk/bicara yang simpatik dan lain-lain.
Tolak ukur yang berlaku di kalangan masyarakat selalu serba formal dan kuantitatif. Pada gilirannya dalam mengukur keberhasilan dakwah, masyarakat melihatnya dari sisi laris-tidaknya seorang da’i, sedikit-banyaknya pengunjung dan lainnya sebagainya. Namun tetap saja, da’wah yang dilakukan dengan mujadalah menggunakan media berbasis audiovisual merupakan salah satu  metode dakwah yang efektif.
Dakwah pada tataran internal merupakan perwujudan dari berbagai kelemahan di kalangan umat Islam. Oleh karena itu perlu diidentifikasi agar dapat diperbaiki ke depan untuk kemajuan umat dan kejayaan peradaban Islam. Tantangan internal juga dapat direkayasa oleh pihak eksternal agar umat Islam menjadi lemah dan tidak berdaya. Dalam konteks tantangan dakwah, Hamka melihat bahwa umat Islam memiliki empat penyakit utama yaitu keimanan yang lemah, egois, mabuk kekuasaan dan nafsu yang tidak terkendali.[4]
Pertama, lemahnya semangat untuk berkorban untuk kepentingan agama. Hal ini secara tidak langsung juga menunjukkan lemahnya iman dikalangan umat Islam. Menurut Hamka, iman yang lemah adalah suatu kehinaan, yang bisa mendorong kepada akhlak yang tidak baik, takut kepada musuh atau pengecut dan mementingkan diri sendiri. Setiap umat Islam seharusnya memiliki jati diri sebagaimana yang digambarkan dalam surat al-Fath [48], ayat 29, yaitu tegas terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama Muslim.[5]
Kedua, mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, seperti hak sahabat,  dan tetangga. Ketiga, mabuk kekuasaan. Keempat, nafsu yang tidak terkendali. Selain melihat banyaknya kelemahan umat Islam, Hamka juga menasehati da‘i  agar tidak membangkitkan isu khilafiah, karena hal itu dapat membawa kepada perpecahan di kalangan umat Islam. Di samping itu, perlu dikembangkan sikap optimisme dalam mencapai kesuksesan Islam. Sikap seperti ini dapat dikembangkan dengan adanya keyakinan bahwa al-Qur’an memiliki konsep yang sempurna.[6]
Kemudian  M. Natsir juga melihat beberapa kelemahan umat Islam. Pertama, umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia, namun potensi atau sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masih rendah. Begitu juga dengan pemahaman tentang Islam. Menurut M. Natsir, pemahaman terhadap Islam dipengaruhi oleh persepsi Barat. Selain itu, masih terdapat pemahaman sempit yang menyelubungi umat Islam, yang mendorong adanya dikotomi, sikap ekstremis, mempertentangkan Islam dengan Pancasila sebagai dasar negara dan berbagai sikap lainnya yang tidak kondusif untuk kemajuan Islam. Selain itu, beberapa politisi Muslim berpaham sekuler, dan mereka tidak ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan Islam.[7]
Kedua, masalah kemunduran umat Islam dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Tentang peran dan kehidupan ekonomi umat Islam, M. Natsir mengatakan :
Dijalur ekonomi, jelas amat menyolok. Dulu umat Islam setidaknya memiliki asset di bidang pembangunan ekonomi. Kelas menengah ekonomi di masa lalu umumnya adalah dari kalangan umat. Namun perkembangan yang ada menunjukkan bahwa seolah umat “terlempar” dari percaturan ekonomi nasional.[8]
Ketiga, kelemahan dalam pengelolaan potensi umat Islam. Hakikatnya, potensi umat Islam terus meningkat dari waktu ke waktu. Akan tetapi potensi yang ada tidak terurus dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan Islam. Padahal dalam peningkatan dakwah sangat dibutuhkan peran dan kerjasama umat Islam dalam berbagai bidang. Selain itu menurut M. Natsir, sebahagian umat Islam bersikap mengalah, tidak berani mengambil risiko dan tidak waspada terhadap tindak-tanduk pihak eksternal.
Sikap di atas, menurut tokoh lawan polemik Soekarno ini, muncul karena penyakit cinta kepada dunia (hubb al-dunya) yang berlebihan, meskipun hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Menurutnya kondisi ini sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada zaman pra dan pasca kemerdekaan. Penyakit cinta dunia yang berlebihan, juga dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak modernisasi.
Keempat, kelemahan dalam bidang memajukan generasi Islam untuk estafeta kepemimpinan. Menurut M. Natsir, hal ini karena sikap tidak peduli antara generasi tua kepada generasi muda. Akibatnya terjadi kelumpuhan dan kelemahan yang mempengaruhi kelanjutan kepemimpinan masa depan. Untuk mengatasi kondisi ini, M. Natsir menyarankan agar generasi muda Islam, melalui organisasi atau lembaga dakwah mengadakan pertemuan untuk mengkaji masalah tersebut secara serius, menganalisis situasi dan mengembangkan persamaan persepsi. Akan tetapi karena hal ini termasuk persoalan yang sensitif maka harus berhati-hati dan tidak terlalu digembar-gemborkan.[9]
Pada  sisi lain, kelemahan dakwah terletak pada da‘i   dan organisasi dakwah  dalam pengelolaannya. Keberadaan da‘i dan  organisasi dakwah dapat dipandang sebagai kekuatan, namun pada sisi lain dewasa ini masih ditemukan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain seperti :
a)        Belum adanya kerjasama yang menggembirakan antar organisasi dakwah.
b)        Kompetensi da‘i    belum memadai.
c)        Kegiatan dakwah belum menyentuh semua aspek kehidupan umat.
d)       Peta dakwah belum jelas.
e)        Lemahnya manajemen dakwah yang merupakan gambaran belum profesional penanganan kegiatan dakwah.
f)         Persoalan sumber dana dakwah yang belum jelas dan sederet kelemahan lainnya dapat diurutkan. Pembahasan berikut ini  mencoba menganalisa empat kelemahan yang dianggap sangat mendasar.
Pertama, kerjasama antar organisasi dakwah dipandang cukup penting bagi upaya mengatasi kelemahan baik pada tataran konsep maupun pada tataran operasional dakwah. Karena dengan terwujudnya kerjasama yang baik, maka lebih memungkinkan untuk saling memahami, saling belajar dan saling membantu, serta menghindari tumpang tindih (over lapping) kegiatan dakwah terhadap objek yang sama. Untuk tahap awal misalnya dilakukan pertemuan antara pimpinan organisasi (top leader).
Kedua, kelemahan dakwah terletak pada tenaga da‘i  yang berkaitan dengan kualitas, profesionalisme dan kompetensi.[10] Da‘i  merupakan unsur pertama dan utama dalam proses kegiatan dakwah. Oleh karena itu keberadaannya  sangat menentukan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam pencapaian tujuan dakwah. Mengingat hal itu, maka pada setiap saat sangat dibutuhkan da‘i    yang berkualitas dan profesional serta mampu memberikan alternatif jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat  di era globalisasi  saat ini.
Ketiga, kegiatan dakwah belum menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Potret dakwah selama ini,  lebih dominan dalam bentuk lisan seperti khutbah, ceramah dan sejenisnya. Tema-tema yang dibicarakan pun masih berfokus pada masalah aqidah dan ibadah serta berkutat sekitar masalah halal dan haram, syurga dan neraka, sementara aspek keislaman lainnya yang sangat luas sering terabaikan. Dakwah dalam terminologi modern adalah upaya rekonstruksi masyarakat yang meliputi perbaikan kehidupan dalam bidang kesejahteraan sosial, pendidikan, hukum, politik, ekonomi, kehidupan budaya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mental spiritual.[11] Oleh sebab itu, tema-tema dakwah harus lebih beragam sesuai dengan permasalahan dan tuntutan kehidupan umat.
Keempat, peta dakwah yang belum jelas. Bila kita perhatikan keragaman permasalahan kehidupan umat, maka kegiatan dakwah bukan kegiatan sambil lalu atau sekali gebrakan lantas membuahkan hasil. Akan tetapi kegiatan dakwah memerlukan penanganan dan manajemen yang baik serta perencanaan dakwah yang didasarkan pada kondisi objektif umat. Kemudian persoalan selanjutnya adalah bagaimana merumuskan strategi kebijakan dakwah berdasarkan perencanaan yang didasarkan pada hasil penelitian dakwah dan kemudian dituangkan dalam peta dakwah.
Pada sisi lain, titik lemah umat Islam pada aspek politik. Faktanya bahwa umat Islam mayoritas dalam sensus, minoritas dalam peran dan kualitas. Jadi jika kecerdasan politik merupakan salah satu titik lemah umat, maka dakwah seharusnya diorientasikan pada upaya mencerdaskan politik umat. Ada persoalan yang mendasar yang perlu diluruskan bahwa secara visi, politik belum disepakati sebagai instrument yang merupakan bagian integral dari dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Menurut Eep Saefullo Fatah terdapat 25 jenis kekeliruan dalam memahami dan praktik politik kalangan umat, di antaranya gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan melihat politik sebagai  hitam putih.[12]
  

BAB III
KESIMPULAN

Eksistensi dakwah islam secara makro senantiasa bersentuhan dan bergelut dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah dengan realitas sosial-kultural akan melahirkan dua kemungkinan. Pertama, dakwah islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan, dalam arti member dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman bagi perubahan masyarakat samapai terbentuk realitas sosial yang baru. Kedua, dakwah islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat, dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Hal ini berarti bahwa aktivitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural.
Berangkat dari kerangka pikir ini, maka metode dakwah kontemporer sangat diperlukan dalam rangka menghadapi dinamika kehidupan manusia yang semakin kompleks. Ada beberapa rumusan penggunaan metode dakwah secara umum yaitu :pertama, Rumus penetapan metode harus disesuaikan dengan objek dakwah, hal ini berorientasi pada proses humanisasi masyarakat secara sosio-kultural dan membangun manusia seutuhnya. Dengan begitu dakwah bukan hanya sekedar tabligh al-ayat (penyampaian pesan-pesan agama), tetapi lebih dari itu ia mengandung upaya membentuk pribadi-pribadi muslim dan selanjutnya pembangunan masyarakat. Dalam hal ini peran da’i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat agar mampu menciptakan kondisi yang mereka idamkan.
Kedua, perlu perencanaan strategi dakwah untuk menetapkan metode yang tepat. Perumusan perencanaan strategi ini akan melahirkan metode yang baik pula, sebab metode merupakan suatu cara pelaksanaan strategi. Jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, maka juru dakwah harus memahami perubahan transisional dari transaksi pada kekuatan magis dan ritual kearah ketergantungan pada sains dan kepercayaan serta transisi dari suatu masyarakat tertutup, sakral dan tunggal kearah keterbukaan, plural dan sekuler.  jadi perencanaan strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. 1996. Metodologi Pengajaran Agama Islam. (Bandung : Remaja Rosdakarya).
Andy Dermawan, dkk (ed.), 2002. Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI)
Awaluddin Pimai. 2005. Paradigma Dakwah Humanis. (Semarang : Rasail)
Clarence L.Barhart & Robert K.Barnhart (ed). 1987. The World Book Dictionary. (Chicago : Doubleday & Company Inc)
Depag RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Semarang : PT. Karya Toha Putra)
Eep Saefulloh Fatah, 2008. Kalangan Islam: Dari Statistik ke Politik ? dalam Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)
Gary R. Bunt, Lampeter, 2005. Islam Virtual, Menjelajah Islam di Jagad Maya, Penj.Suharsono, (Yogyakarta : Suluh Press)
Hamka, 1982. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah (Umminda : Jakarta)
Hasan Baihaqi, 2000. Dakwah dalam Perspektif Al-Hadis. ( Makalah yang disampaikan dalam forum workshop Konsorsium bidang studi ilmu dakwah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, 2000. (Jakarta: Penerbit Media Dakwah) cet. ke-11
M. Syafa’at Habib. 1982. Buku Pedoman Dakwah. (Jakarta : PT. Bumi restu)
M. Ja’far Puteh, 2000. Dakwah di Era Globalisasi: Strategi Menghadapi Perubahan Sosial.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,).
Mahmud Yunus. 1990, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta : Hidakarya Agung)
Sukrianto (dkk), 1990.  Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Sipress)





[1] Awaluddin Pimai. Paradigma Dakwah Humanis. (Semarang : Rasail, 2005). Hlm. 56
[2] Gary R. Bunt, Lampeter, Islam Virtual, Menjelajah Islam di Jagad Maya, Penj.Suharsono, (Yogyakarta : Suluh Press, 2005). hlm 5
[3] Hasan Baihaqi, Dakwah dalam Perspektif Al-Hadis. ( Makalah yang disampaikan dalam forum workshop Konsorsium bidang studi ilmu dakwah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tanggal 6-9 Maret 2000). hlm.14
[4] Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah, hlm. 25 dan 29.
[5] Ibid, hlm. 24
[6] Ibid, hlm. 28
[7] M. Natsir, Fiqhud Dakwah,  (Jakarta: Media Dakwah), hlm. 60
[8] Ibid, hlm. 28-29
[9] Ibid, h. 69. Pada tahun 1985, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1985, tentang Pancasila sebagai asas tunggal dalam berorganisasi. Undang-undang tersebut terdapat pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akibatnya organisasi Islam dan aktivitas dakwah mendapat pengawalan dari pemerintah. Oleh karena itu, M. Natsir menasehatkan agar umat Islam berhati-hati dalam bertindak. Lihat, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 265.
[10] Kompetensi da‘i  dibedakan kepada tiga hal, yaitu kompetensi substantif, kompetensi metodologis dan kompetensi teknis. Kompetensi subtansif terkait dengan penguasaan ilmu keislamam yang luas dan mendalam dan berakhlak mulia. Kompetensi metodologis menekankan pada kemampuan da‘i    dalam merencanakan dan melaksankan dakwah sesuai dengan kondisi objektif sasaran dakwah. Sementara kompetensi teknis, merupakan kemampuan menguasai teknologi yang mendukung keberhasilan dakwah. Lihat, Abdullah,Wawasan Dakwah, hlm. 45.
[11] Sukrianto (dkk), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Sipress, 1990), hlm. 127.
[12] Eep Saefulloh Fatah, Kalangan Islam: Dari Statistik ke Politik ? dalam Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm.xiv.
Share on Google Plus

About Hamzah Hayatulloh

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Pages