BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
ilmu pengetahuan, dakwah tidak tertinggal jauh oleh cabang-cabang ilmu lainnya.
Apalagi di era sekarang ini yang serba modern, dakwah metode cultural kurang
berpengaruh dalam masyarakat apalagi masyarakat kota. Islam merupakan agama
dakwah, yaitu agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk mengajak segenap
manusia supaya beriman, beramal dan berkarya serta menata kehidupan sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Dakwah sebagai tugas mulia dalam pelaksanaannya belum
dikelola dengan baik. Menurut kamus bahasa arab da’a, yad’u, da’watan yang
berarti menyeru, mengundang atau ajakan. Inilah Allah SWT dalam menugaskan dan
memberitahu kepada orang-orang mukmin tentang dakwah. Kegiatan dakwah yang kian
hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan
beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya
perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia yaitu salah satunya adalah Dakwah
Kontemporer.
Adapun
metode yang harusnya ditempuh oleh para dai adalah dengan menggunakan kalimat
yang lembut, tidak kasar apalagi mencacinya, dan apapun ketika seseorang itu
menolaknya maka ajaklah ia dengan berdiskusi atau berdialog dengan
argument-argumen yang kuat sehingga bisa meyakinkan dan tidak pula tetap dengan
suasana yeng tentram. Dakwah menjadi kajian akademik kira-kira pada abad ke-20
setelah adanya beberapa tulisan yang membicarakan tentang dakwah yang diperkuat
dengan berdirinya jurusan dakwah pada fakultas-fakultas. Dengan lahirnya dakwah
kontemporer ini, para penda’I dapat bersaing secara sehat dengan ilmu-ilmu
lainnya yang telah berkembang begitu cepat, apalagi dengan lahirnya internet
yang semakin hari semakin canggih dan semakin mudah berkembang serta semakin
mempengaruhi orang yang menggunakan
Dewasa
ini, tantangan dakwah tampaknya semakin berat, terutama tantangan akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak dari arus modernisasi dan
globalisasi. Walaupun di balik tantangan tersebut sesungguhnya juga menawarkan
peluang-peluang yang harus dimanfaatkan. Tantangan dakwah kontemporer dapat
dibedakan menjadi dua hal, yaitu: Pertama, tantangan yang merupakan
ekses atau dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi buruk
dari globalisasi. Kedua, tantangan yang berasal dari pihak
non-Muslim, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, berbagai
progam dan strategi yang mereka lakukan. Ketiga, tantangan dakwah
akibat dari berbagai persoalan kebangsaan yang memberikan efek negatif kepada
kegiatan dakwah. Sementara pada sisi lain, dakwah juga dihadapkan dengan
persoalan kemiskinan, terutama dampak dari krisis ekonomi, yang telah
mengakibatkan penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu,
tantangan atau permasalahan pemurtadan dan ghazwul Fikr yang
dilakukan pihak non-Muslim dan hal ini hanya selalu diwaspadai. Dalam
konteks ghaswul Fikr, terdapat berbagai tuduhan dari pihak luar
Islam seperti Islam dikembangkan dengan pedang dan perang, serta tuduhan Islam
agama teroris.
Mereka
telah menyalahgunakan kebebasan berekspresi untuk memprovokasi, menghina
keyakinan dan melukai hati umat Islam. Semua bentuk serangan terhadap Islam,
Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks dakwah, semua tuduhan itu harus
dijawab secara akademis, bukan dengan sentiment yang berlebihan. Sejauh ini
memang sudah ada beberapa upaya untuk mengkanternya, seperti yang dilakukan
oleh Irena Handono dan teman-temannya. Ia menulis buku dengan judul: Islam
Dihujat: Menjawab buku the Islamic Invasion. Ke depan
usaha-usaha seperti itu, harus dilakukan, sehingga ada keseimbangan antara
informasi dan wawasan bagi masyarakat dunia.
Tantangan
dakwah pada tataran nasional juga sangat beragam. Bangsa Indonesia sekarang
sedang melangkah dari kehidupan agraris yang bersahaja kepada kehidupan industry.
Proses industrialism dan modernisasi, manusia dapat lupa terhadap hakikat hidup
dan fungsi ganda yang diembankannya, yaitu sebagai pengabdi kepada Allah
(abdun), sebagai khalifah dan penerus risalah kenabian. Manusia dapat
menjadi makhluk penyembah teknologi, materu dan kepada sesame. Kalau kondisi
ini muncul akibatnya akan menghasilkan industri yang mengelu-elukan teknologi,
serta muncul sikap mental arogan terhadap nilai-nilai transenden yang
ditawarkan oleh wahyu Ilahi. Kemudian pada gilirannya akan menjurus kepada
pemikiran dan sikap hidup yang sekuler, baik dalam pengertian pemisahan agama
dengan politik, maupun dalam pengertian terbebasnya manusia dari kontrol
ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.
Dakwah
Islam dituntut untuk memberikan nilai terhadap ilmu pengetahuan, yaitu pada
tahap aksiologis, sehingga penerapan ilmu tidak memberikan dampak negatif bagi
kehidupan umat manusia. Demikian juga halnya dalam penerapan teknologi. Baik
terhadap ilmu pengetahuan maupun terhadap teknologi, yang sangat menentukan
disinilah adalah manusianya yang mengendalikan ilmu dan teknologi itu.
Tantangan berikutnya, yang semakin terasa saat ini adalah akibat dari munculnya
era globalisasi. Pada era ini, dunia terasa tidak luas lagi dan kehidupann
manusia antar Negara menjadi transparan. Akibatnya adalah muncul nilai-nilai
baru yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Media massa saat
ini, seperti radio, televisi, pers dan teknologi mutakhir, dikuasai oleh pihak
barat. Dalam konteks dakwah keberadaannya harus selalu diperhitungkan, sebab
secara teori media masa mempunyai fungsi memberikan informasi (to inform),
mendidik (to educated) dan menghibur (to entertainment). Media massa juga
bersifat ambivalen, pada satu sisi menawarkan “rahmat” yaitu kebaikan,
kemudahan, dan pencerahan kepada umat manusia sebagaimana fungsi diatas
BAB II
KRITIK DAN EVALUASI METODOLOGI DAN STRATEGI
DAKWAH KOTEMPORER
Dakwah kontemporer adalah Dakwah yang dilakukan dengan
cara menggunakan teknologi modern yang sedang berkembang. Dakwah kontemporer
ini sangat cocok apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau
masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas. Teknis
dakwah kontemporer ini lain dengan dakwah Kultural.
Dalam pembahasan ini penekanannya adalah
cara melaksanakan dakwah saat ini. Melakukan dakwah yang sebenarnya
adalah hal yang sangat mudah. Karena melakukan dakwah dimana saja dan kapan
saja. Menyampaikan dakwah kita pertama harus merujuk kepada Al-Qur’an dan
Hadis Nabi. Salah satu metode dakwah yang sampai saat inimasih relevan
dipraktekkan oleh para da’i adalah dapat merujuk kepada Hadis Nabi sebagai
berikut: Permudahlah, jangan mempersulit, sampaikan kabar gembira dan jangan
membuat orang lari (HR. Bukhari). Mempermudah urusan bukanlah mebolehkan segala
sesuatu, hal yang dalam kehidupan ini. Misalnya, apabila seseorang baru masuk
Islam misalnya. Setelah ia mengucapkan dua Kalimah Syahadat. Maunya jangan
langsung dengan serta merta kita menyuruh membayar zakat, dan naik haji. Akan
tetapi jika ia baru saja masuk Islam maka kita memberikan kabar-gembira, kabar
yang menyenangkan serta menyejukkan. Misalnya kita memberikan penjelasan bahwa
Islam Agama yang menghormati sesama manusia misalanya.
Metode bagian dari komponen dakwah menjadi amat
menentukan dalam menggapai keberhasilan dakwah. Sebab betapapun pandainya juru
dakwah, apabila tidak mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh obyek
dakwah akan mengalami kesulitan dalam menentukan metode dakwah. Kemudian
apabila metode dakwah yang ditentukan tidak sesuai, maka akan menimbulkan
kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Menurut Sayyid Quthub sebagaimana yang dikutip Awaluddin
Pimai, ayat ini telah menetapkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar
dakwah, menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh serta cara-cara
penyampaiannya.[1] Jadi
menurut ayat tersebut, metode dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga metode
yang meliputi hikmah, nasehat yang baik dan berdebat dengan cara yang baik.
1. Metode dakwah dengan cara hikmah
Pengertian hikmah secara luas meliputi cara atau taktik
dakwah yang diperlukan dalam menghadapi golongan cerdik pandai, golongan awam
atau semua golongan atau lapisan masyarakat. Ada beberapa metode yang termasuk
dalam kategori hikmah dengan unsur amal perbuatan yaitu :
a. Silaturrahiem; door
to door/ face to face;
Metode
dakwah dinilai efektif apabila dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun
membina umat islam yaitu metode silaturrahmi. Kelebihan menggunakan metode ini
adalah :
1)
Membina
persaudaraan, bertukar pendapat dan pengalaman
2)
Silaturrahmi
(mengunjungi teman) adalah suatu kewajiban umat Islam, sehingga selain memiliki
aktivitas dakwah, sekaligus menunaikan kewajiban sesama Muslim.
3)
Mudah
dilaksanakan tidak memerlukan biaya yang banyak.
b. Aksi
sosial (dakwah bi al hal)
Saat
ini tidak hanya lembaga-lembaga dakwah yang menyelenggarakan kegiatan aksi
sosial namun sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan yang memiliki program yang
sering disebut dengan CSR (corporate social responsibility) menyisihkan
dana untuk melakukan kegiatan sosial seperti bagi-bagi hadiah (umroh gratis),
wakaf, sodaqoh, khitanan masal, pemberian santunan/social work terhadap
anak yatim, janda-janda, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan sebagainya.
c. Dakwah
Tulisan ( dakwah bi al Kitabah)
Dakwah
yang dilakukan dengan perantaraan kata-kata/kalimat yang ditulis, sebagai usaha
pengembangan atau penambah media lisan. Dakwah ini dapat dilakukan lewat surat
kabar, majalah, bulletin, spanduk, lukisan dan sebagainya.
d. Dakwah
Virtual
Ada
fenomena globalisasi dengan menggunakan internet (virtual), diseluruh
kawasan yang didaerahnya terdapat jaringan komunikasi yang bisa mengakses
internet. Saat ini internet dikatakan sebagai mesin yang serba tahu, internet
sebagai mesin pintar yang tahu semua, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
ekspresi umat islam dalam ruang internet. Ternyata ada beberapa hal ekspresi
yang dapat dilakukan umat islam yaitu :[2]
1)
Ruang Sharing dan Downloading ;
Al-Qur’an
Lengkap dengan aneka bacaan dan tafsirnya. Hadits Nabi lengkap dengan terjemah
dan tafsirnya juga. Buku-buku keislaman dengan berbagai bahasa musik islami,
dari tradisional sampai modern. Video-video ceramah atau film-film dan
lain-lain.
2)
Ruang
ekspresi kata-kata dan foto-foto yang muncul hampir tanpa sensor:Facebook menjadi
contoh ideal hal ini, dari pribadi manusia yang ‘narsis’ hingga reaksi
terhadap isu-isu baik positif maupun negatif
3)
Fenomena
reaksi umat Islam terhadap isu-isu kontroversial ;
4)
Blog dan website pemikiran islam
dari blog pribadi sampai ke website lembaga
5)
Fenomena
ensiklopedia online. Entri-entri islam di wikipedia,
dan sebagainya.
e. Wisata
keagamaan
Wisata
keagamaan disajikan dalam bentuk kegiatan ‘refresing’ penyegaran kembali
dengan menggugah hati manusia untuk mengambil nilai-nilai historis peristiwa
masa lampau. Ada pelajaran yang unik dengan wisata keagamaan karena sejarah
tidak dapat dihilangkan, namun dipelihara untuk diambil hikmahnya. Biasanya
kegiatan ini dalam bentuk-bentuk ziarah ketempat-tempat bersejarah, haji, umroh
dan sebagainya.
2. Metode dengan ‘
nasehat yang baik’
Dakwah bi
al-mau’izhatil hasanah (dengan pelajaran yang baik) dipahami oleh
banyak pakar dan penulis kajian ilmu dakwah pada sudut pemahaman yaitu
kemampuan juru dakwah dalam memilih materi dakwah itu sendiri. Padahal
pengertiannya lebih luas daripada sekedar kemampuan memilih materi dakwah.
Dakwah
dengan pelajaran yang baik ialah dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan
halus dan merasuk ke dalam perasaan dengan lemah lembut, tidak bersikap
menghardik, memarahi atas kesalahan-kesalahan penerima dakwah. Karena itu,
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan majelis-majelis taklim yang tumbuh subur
dan terorganisir dengan baik dipandang sebagai langkah positif dalam
pelaksanaan dakwah dengan pelajaran yang baik. Demikian pula penyajian materi
dakwah, tidak hanya bertumpu pada metode ceramah, tetapi bisa dikombinasikan
dengan metode cerita sebagaimana nabi Muhammad saw sering menggunakan metode
cerita untuk menambah keyakinan sahabatnya dan menjadi pelajaran yang baik bagi
umatnya.
3. Metode
dakwah Mujadalah
Istilah
didalam alqur’an yang hampir sama dengan mujadalah, yaitu mukabaroh danmunadzarah, perbedaan
istilah itu hanya pada tujuannya, ada yang bertujuan untuk diskusi mencari
kemenangan dalam rangka mencari kepuasan diri, ada yang bertujuan mencari titik
lemah pihak lawan dengan menampakkan kesombongannya, ada pula yang bertujuan
untuk mencari kebenaran.[3]
Rosululloh
saw dari berbagai kesempatan juga menggunakan mujadalah ini, baik
dengan para sahabat maupun dengan pihak non muslim. Dalam situasi reformasi
seperti sekarang ini, metode diskusi dan sejenisnya menjadi sangat tepat dan
populer, baik dalam mensosialisasikan sesuatu yang baru, kepentingan politik,
mencari simpati maupun lainnya.
Usaha
yang dapat dilakukan forum dialog yang diadakan dalam berbagai bentuk seperti
symposium, seminar, workshop, lokakarya tampaknya lebih menarik perhatian
masyarakat golongan cerdik pandai dan golongan terpelajar dengan cara
mempelajari atau menyampaikan bahan dengan jalan mendiskusikan sehingga
menimbulkan pengertian serta perubahan kepada penerima dakwah. Diskusi dapat
pula digunakan untuk memecahkan masalah maupun memberikan sumbangan pikiran
terhadap masalah bersama. Kebaikan metode ini suasana dakwah lebih hidup, dapat
menimbulkan sikap toleransi, demokrasi, kritis serta bahan yang dibahas lebih
mendalam dan meninggalkan kesan internal jiwa penerima dakwah.
Mujadalah
dapat juga dilaksanakan langsung dengan peserta, atau melalui media massa,
cetak maupun elektronik, seperti dialog interaktif, pengajian interaktif.
Contohnya: pengajian ustadzah Qurrota’ayyun, ustadz Cepot, yang
mengintegrasikan antara dialog (tanya jawab), ceramah yang bertemakan kebutuhan
nyata masyarakat dengan memanfaatkan media televisi. Metode yang dilakukan
memiliki kriteria penguasaan bahasa, bahan yang sesuai, suara/intonasi,
sikap/cara berdiri/duduk/bicara yang simpatik dan lain-lain.
Tolak ukur yang berlaku di kalangan masyarakat selalu
serba formal dan kuantitatif. Pada gilirannya dalam mengukur keberhasilan
dakwah, masyarakat melihatnya dari sisi laris-tidaknya seorang da’i,
sedikit-banyaknya pengunjung dan lainnya sebagainya. Namun tetap saja, da’wah
yang dilakukan dengan mujadalah menggunakan media berbasis audiovisual
merupakan salah satu metode dakwah yang efektif.
Dakwah pada tataran internal merupakan perwujudan dari
berbagai kelemahan di kalangan umat Islam. Oleh karena itu perlu diidentifikasi
agar dapat diperbaiki ke depan untuk kemajuan umat dan kejayaan peradaban
Islam. Tantangan internal juga dapat direkayasa oleh pihak eksternal agar umat
Islam menjadi lemah dan tidak berdaya. Dalam konteks tantangan dakwah, Hamka
melihat bahwa umat Islam memiliki empat penyakit utama yaitu keimanan yang
lemah, egois, mabuk kekuasaan dan nafsu yang tidak terkendali.[4]
Pertama, lemahnya semangat untuk berkorban untuk
kepentingan agama. Hal ini secara tidak langsung juga menunjukkan lemahnya iman
dikalangan umat Islam. Menurut Hamka, iman yang lemah adalah suatu kehinaan,
yang bisa mendorong kepada akhlak yang tidak baik, takut kepada musuh atau
pengecut dan mementingkan diri sendiri. Setiap umat Islam seharusnya memiliki
jati diri sebagaimana yang digambarkan dalam surat al-Fath [48], ayat 29, yaitu
tegas terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama Muslim.[5]
Kedua, mementingkan diri sendiri dan tidak peduli
terhadap hak-hak orang lain, seperti hak sahabat, dan tetangga. Ketiga, mabuk
kekuasaan. Keempat, nafsu yang tidak terkendali. Selain melihat
banyaknya kelemahan umat Islam, Hamka juga menasehati da‘i agar tidak
membangkitkan isu khilafiah, karena hal itu dapat membawa kepada perpecahan di
kalangan umat Islam. Di samping itu, perlu dikembangkan sikap optimisme dalam
mencapai kesuksesan Islam. Sikap seperti ini dapat dikembangkan dengan adanya
keyakinan bahwa al-Qur’an memiliki konsep yang sempurna.[6]
Kemudian M. Natsir juga melihat beberapa kelemahan
umat Islam. Pertama, umat
Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia, namun potensi atau sumber daya
manusia (SDM) yang dimiliki masih rendah. Begitu juga dengan pemahaman tentang
Islam. Menurut M. Natsir, pemahaman terhadap Islam dipengaruhi oleh persepsi
Barat. Selain itu, masih terdapat pemahaman sempit yang menyelubungi umat
Islam, yang mendorong adanya dikotomi, sikap ekstremis, mempertentangkan Islam
dengan Pancasila sebagai dasar negara dan berbagai sikap lainnya yang tidak
kondusif untuk kemajuan Islam. Selain itu, beberapa politisi Muslim berpaham
sekuler, dan mereka tidak ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan Islam.[7]
Kedua, masalah kemunduran umat Islam dalam bidang
pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Tentang peran dan kehidupan ekonomi umat
Islam, M. Natsir mengatakan :
Dijalur ekonomi, jelas amat menyolok. Dulu umat Islam
setidaknya memiliki asset di bidang pembangunan ekonomi. Kelas menengah ekonomi
di masa lalu umumnya adalah dari kalangan umat. Namun perkembangan yang ada
menunjukkan bahwa seolah umat “terlempar” dari percaturan ekonomi nasional.[8]
Ketiga, kelemahan dalam pengelolaan potensi umat
Islam. Hakikatnya, potensi umat Islam terus meningkat dari waktu ke waktu. Akan
tetapi potensi yang ada tidak terurus dan dimanfaatkan secara optimal untuk
kepentingan Islam. Padahal dalam peningkatan dakwah sangat dibutuhkan peran dan
kerjasama umat Islam dalam berbagai bidang. Selain itu menurut M. Natsir,
sebahagian umat Islam bersikap mengalah, tidak berani mengambil risiko dan
tidak waspada terhadap tindak-tanduk pihak eksternal.
Sikap di atas, menurut tokoh lawan polemik Soekarno ini,
muncul karena penyakit cinta kepada dunia (hubb al-dunya) yang
berlebihan, meskipun hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Menurutnya
kondisi ini sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada zaman pra dan pasca
kemerdekaan. Penyakit cinta dunia yang berlebihan, juga dipengaruhi oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak modernisasi.
Keempat, kelemahan dalam bidang memajukan generasi
Islam untuk estafeta kepemimpinan. Menurut M. Natsir, hal ini karena sikap
tidak peduli antara generasi tua kepada generasi muda. Akibatnya terjadi
kelumpuhan dan kelemahan yang mempengaruhi kelanjutan kepemimpinan masa depan.
Untuk mengatasi kondisi ini, M. Natsir menyarankan agar generasi muda Islam, melalui
organisasi atau lembaga dakwah mengadakan pertemuan untuk mengkaji masalah
tersebut secara serius, menganalisis situasi dan mengembangkan persamaan
persepsi. Akan tetapi karena hal ini termasuk persoalan yang sensitif maka
harus berhati-hati dan tidak terlalu digembar-gemborkan.[9]
Pada sisi lain, kelemahan dakwah terletak pada
da‘i dan organisasi dakwah dalam pengelolaannya. Keberadaan
da‘i dan organisasi dakwah dapat dipandang sebagai kekuatan, namun pada
sisi lain dewasa ini masih ditemukan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut
antara lain seperti :
a)
Belum adanya kerjasama yang menggembirakan antar organisasi dakwah.
b)
Kompetensi da‘i belum memadai.
c)
Kegiatan dakwah belum menyentuh semua aspek kehidupan umat.
d)
Peta dakwah belum jelas.
e)
Lemahnya manajemen dakwah yang merupakan gambaran belum profesional
penanganan kegiatan dakwah.
f)
Persoalan sumber dana dakwah yang belum jelas dan sederet kelemahan
lainnya dapat diurutkan. Pembahasan berikut ini mencoba menganalisa empat
kelemahan yang dianggap sangat mendasar.
Pertama, kerjasama antar organisasi dakwah dipandang
cukup penting bagi upaya mengatasi kelemahan baik pada tataran konsep maupun
pada tataran operasional dakwah. Karena dengan terwujudnya kerjasama yang baik,
maka lebih memungkinkan untuk saling memahami, saling belajar dan saling
membantu, serta menghindari tumpang tindih (over lapping)
kegiatan dakwah terhadap objek yang sama. Untuk tahap awal misalnya dilakukan
pertemuan antara pimpinan organisasi (top leader).
Kedua, kelemahan dakwah terletak pada tenaga da‘i
yang berkaitan dengan kualitas, profesionalisme dan kompetensi.[10] Da‘i merupakan unsur pertama dan
utama dalam proses kegiatan dakwah. Oleh karena itu keberadaannya sangat
menentukan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam pencapaian tujuan
dakwah. Mengingat hal itu, maka pada setiap saat sangat dibutuhkan
da‘i yang berkualitas dan profesional serta mampu memberikan
alternatif jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat di era
globalisasi saat ini.
Ketiga, kegiatan dakwah belum menyentuh berbagai
aspek dalam kehidupan masyarakat. Potret dakwah selama ini, lebih dominan
dalam bentuk lisan seperti khutbah, ceramah dan sejenisnya. Tema-tema yang
dibicarakan pun masih berfokus pada masalah aqidah dan ibadah serta berkutat
sekitar masalah halal dan haram, syurga dan neraka, sementara aspek keislaman
lainnya yang sangat luas sering terabaikan. Dakwah dalam terminologi modern
adalah upaya rekonstruksi masyarakat yang meliputi perbaikan kehidupan dalam
bidang kesejahteraan sosial, pendidikan, hukum, politik, ekonomi, kehidupan
budaya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mental spiritual.[11] Oleh sebab itu, tema-tema dakwah harus
lebih beragam sesuai dengan permasalahan dan tuntutan kehidupan umat.
Keempat, peta dakwah yang belum jelas. Bila kita
perhatikan keragaman permasalahan kehidupan umat, maka kegiatan dakwah bukan
kegiatan sambil lalu atau sekali gebrakan lantas membuahkan hasil. Akan tetapi
kegiatan dakwah memerlukan penanganan dan manajemen yang baik serta perencanaan
dakwah yang didasarkan pada kondisi objektif umat. Kemudian persoalan
selanjutnya adalah bagaimana merumuskan strategi kebijakan dakwah berdasarkan
perencanaan yang didasarkan pada hasil penelitian dakwah dan kemudian
dituangkan dalam peta dakwah.
Pada sisi lain, titik lemah umat Islam pada aspek
politik. Faktanya bahwa umat Islam mayoritas dalam sensus, minoritas dalam
peran dan kualitas. Jadi jika kecerdasan politik merupakan salah satu titik
lemah umat, maka dakwah seharusnya diorientasikan pada upaya mencerdaskan
politik umat. Ada persoalan yang mendasar yang perlu diluruskan bahwa secara
visi, politik belum disepakati sebagai instrument yang merupakan bagian
integral dari dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Menurut Eep Saefullo Fatah
terdapat 25 jenis kekeliruan dalam memahami dan praktik politik kalangan umat,
di antaranya gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan
melihat politik sebagai hitam putih.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Eksistensi
dakwah islam secara makro senantiasa bersentuhan dan bergelut dengan realitas
yang mengitarinya. Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah dengan realitas
sosial-kultural akan melahirkan dua kemungkinan. Pertama, dakwah
islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan, dalam arti
member dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman bagi perubahan masyarakat
samapai terbentuk realitas sosial yang baru. Kedua, dakwah islam
dipengaruhi oleh perubahan masyarakat, dalam arti eksistensi, corak dan arahnya.
Hal ini berarti bahwa aktivitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural.
Berangkat
dari kerangka pikir ini, maka metode dakwah kontemporer sangat diperlukan dalam
rangka menghadapi dinamika kehidupan manusia yang semakin kompleks. Ada
beberapa rumusan penggunaan metode dakwah secara umum yaitu :pertama,
Rumus penetapan metode harus disesuaikan dengan objek dakwah, hal ini
berorientasi pada proses humanisasi masyarakat secara sosio-kultural dan
membangun manusia seutuhnya. Dengan begitu dakwah bukan hanya sekedar tabligh
al-ayat (penyampaian pesan-pesan agama), tetapi lebih dari itu ia mengandung
upaya membentuk pribadi-pribadi muslim dan selanjutnya pembangunan masyarakat.
Dalam hal ini peran da’i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat
agar mampu menciptakan kondisi yang mereka idamkan.
Kedua,
perlu perencanaan strategi dakwah untuk menetapkan metode yang tepat. Perumusan
perencanaan strategi ini akan melahirkan metode yang baik pula, sebab metode
merupakan suatu cara pelaksanaan strategi. Jika dikaitkan dengan era
globalisasi saat ini, maka juru dakwah harus memahami perubahan transisional
dari transaksi pada kekuatan magis dan ritual kearah ketergantungan pada sains
dan kepercayaan serta transisi dari suatu masyarakat tertutup, sakral dan
tunggal kearah keterbukaan, plural dan sekuler. jadi perencanaan
strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan
masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. 1996.
Metodologi Pengajaran Agama Islam. (Bandung : Remaja Rosdakarya).
Andy Dermawan, dkk
(ed.), 2002. Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI)
Awaluddin
Pimai. 2005. Paradigma Dakwah Humanis. (Semarang : Rasail)
Clarence L.Barhart
& Robert K.Barnhart (ed). 1987. The World Book Dictionary.
(Chicago : Doubleday & Company Inc)
Depag RI. 2007. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. (Semarang : PT. Karya Toha Putra)
Eep
Saefulloh Fatah, 2008. Kalangan Islam: Dari Statistik ke Politik ? dalam Dhurorudin Mashad,
Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)
Gary R. Bunt,
Lampeter, 2005. Islam Virtual, Menjelajah Islam di Jagad Maya,
Penj.Suharsono, (Yogyakarta : Suluh Press)
Hamka, 1982. Prinsip dan Kebijaksanaan
Dakwah (Umminda : Jakarta)
Hasan Baihaqi, 2000.
Dakwah dalam Perspektif Al-Hadis. ( Makalah yang disampaikan dalam forum
workshop Konsorsium bidang studi ilmu dakwah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
M.
Natsir, Fiqhud Dakwah, 2000. (Jakarta: Penerbit Media Dakwah) cet. ke-11
M. Syafa’at
Habib. 1982. Buku Pedoman Dakwah. (Jakarta : PT. Bumi restu)
M. Ja’far
Puteh, 2000. Dakwah di Era Globalisasi: Strategi Menghadapi Perubahan
Sosial.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,).
Mahmud Yunus. 1990,
Kamus Arab Indonesia. (Jakarta : Hidakarya Agung)
Sukrianto
(dkk), 1990. Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Sipress)
[2] Gary R. Bunt, Lampeter, Islam Virtual, Menjelajah Islam di
Jagad Maya, Penj.Suharsono,
(Yogyakarta : Suluh Press, 2005). hlm 5
[3] Hasan Baihaqi, Dakwah
dalam Perspektif Al-Hadis. ( Makalah yang disampaikan dalam forum workshop
Konsorsium bidang studi ilmu dakwah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tanggal
6-9 Maret 2000). hlm.14
[9] Ibid, h. 69. Pada tahun 1985, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1985, tentang Pancasila
sebagai asas tunggal dalam berorganisasi. Undang-undang tersebut terdapat pro
dan kontra di kalangan umat Islam. Akibatnya organisasi Islam dan aktivitas dakwah
mendapat pengawalan dari pemerintah. Oleh karena itu, M. Natsir menasehatkan
agar umat Islam berhati-hati dalam bertindak. Lihat, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik
Orde Baru, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 265.
[10] Kompetensi da‘i dibedakan kepada tiga hal, yaitu kompetensi
substantif, kompetensi metodologis dan kompetensi teknis. Kompetensi subtansif
terkait dengan penguasaan ilmu keislamam yang luas dan mendalam dan berakhlak
mulia. Kompetensi metodologis menekankan pada kemampuan da‘i
dalam merencanakan dan melaksankan dakwah sesuai dengan kondisi objektif
sasaran dakwah. Sementara kompetensi teknis, merupakan kemampuan menguasai
teknologi yang mendukung keberhasilan dakwah. Lihat, Abdullah,Wawasan Dakwah, hlm.
45.
[11] Sukrianto (dkk), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Sipress,
1990), hlm. 127.
[12] Eep Saefulloh Fatah, Kalangan Islam: Dari Statistik ke Politik ? dalam Dhurorudin Mashad,
Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm.xiv.

0 komentar:
Post a Comment